historiografipaling awal dalam sejarah Islam. Di awal abad ke-3 H / 9 M perkembangan historiografi pada bangsa Arab terlihat semakin pesat. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti: 1. Ketersediaan bahan-bahan kesejarahan sebagai akibat 4 Maghazi berasal dari kata ghazwah (ekspedisi militer) yang dari sudut pandang sejarah berarti perang.
Sepertidiketahui bahwa setelah masa hancurnya Kesultanan Abbasiyah di Bagdad, umat islam menekuni jalan tasawuf, terutama umat islam di tanah India. Teori Gujarat menerangkan bahwa masuknya agama islam masuk ke Indonesia pada abad 13 dan Pembawanya berasal dari Gujarat, India.Berikut ini merupakan dasar-dasar yang melatar belakangi Teori Gujarat :
2 Kerajaan Islam Pattani (Abad ke-15 M) Kehadiran Islam di Pattani dimulai dengan kedatangan Syaikh Said, mubaligh dari Pasai, yang berhasil menyembuhkan Raja Pattani bernama Phaya Tu Nakpa yang sedang sakit parah. Phaya Tu Nakpa (1486-1530 M) beragama Buddha, kemudian masuk Islam dan bergelar Sultan Islamil Syah.
1 Perkembangan tasawuf di Indonesia, tidak lepas dari pengkajian proses islamisasi dikawasan ini. Sebab, sebagian besar penyebaran Islam di Nusantara merupakan jasa para sufi. Hal ini menunjukkan bahwa pengikut tasawuf merupakan unsur yang cukup dominan dalam masyarakat pada masa itu.
Disebutkanbahwa perjalanan tasawuf diibaratkan sebagai proses produksi anggur murni berikut ini. Disemaikan pada Nabi Adam a.s, dirawat dan dipelihara pada zaman Nabi Nuh a.s, mulai bersemi pada zaman Nabi Ibrahim a.s. tumbuh dan berkembang pada pesat pada masa Nabi Musa a.s. mencapai kematangan pada zaman Nabi Isa a.s. dan menghasilkan anggur murni pada zaman Nabi Muhammad Saw.
Mulaiabad ke-7 dan ke-8 (abad ke-1 dan ke-2 H), orang Muslim Persia dan Arab sudah turut serta dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan sampai ke negeri China. Pada masa pemerintahan Tai Tsung (627650) kaisar ke-2 dari Dinasti Tang, telah datang empat orang Muslim dari jazirah Arabia.
ViewMAKALAH SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU TASAWUF ECONOMY 211 at UIN Raden Fatah. MAKALAH SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU TASAWUF Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah ilmu tasawuf semester
Pertama bersamaan dengan jatuhnya Baghdad pada 656 M di tangan penguasa Mongol yang sebagian besar ulamanya melarikan diri hingga ke kepulauan Nusantara. Kedua, ditemukannya beberapa karya sufi pada abad ke-13 M. Ada juga pendapat yang mengatakan, justru Islam pertama kali masuk ke Nusantara pada abad pertama Hijriah.
1 Masuknya Agama Islam ke Indonesia pada Abad ke 7. Sejarah masuknya Islam ke Indonesia pada abad ke 7 merupakan salah satu pendapat dari para ahli berdasarkan beberapa bukti yang berhasil ditemukan. Berdasarkan berita dari para pedagang Arab, ternyata pada abad ke 7 mereka sudah menjalin hubungan perdagangan di wilayah Nusantara.
SejarahSingkat Hadits. A. Pendahuluan. Sejarah perjalanan hadits tidak sama dengan perjalanan al-Qur'an. Jika al-Qur'an sejak awalnya sudah diadakan pencatatan secara resmi oleh para pencatat wahyu atas perintah dari nabi dan tidak ada tenggang waktu antara turunya wahyu dengan penulisanya, maka tidak demikian dengan hadits nabi.
YJB5. PENDAHULUAN Manusia sebagaimana disebutkan Ibnu Khaldun memiliki pancaindera, akal dan hati sanubari. Ketiga potensi ini harus bersih, sehat, berdaya guna dan dapat bekerja sama secara harmonis. Untuk menghasilkan kondisi seperti ini ada tiga bidang ilmu yang berperan penting. Pertama, fikih berperan dalam membersihkan dan menyehatkan pancaindera dan anggota tubuh. Istilah yang digunakan fikih untuk pembersihan dan penyehatan pancaindera dan anggota tubuh ini adalah thaharah barsuci. Kedua, filsafat beeperan dalam menggerakan, menyehatkan dan meluruskan akal pikiran. Karenanya filsafat banyak berurusan dengan dimensi metafisik dari manusia, dalam rangka menghasilkan konsep-konsep yang menjelaskakn inti tentang sesuatu. Ketiga, tasawuf berperan dalam membersihkan hati sanubari. Karenanya tasawuf banyak berurusan dengan dimensi esotorik batin dari manusia. 2. PEMBAHASAN Pengertian Tasawuf Para ulama tasawuf dalam penggunaan kata tasawuf berebeda pendapat tentang asal usul katanya.[1] Lafal tasawuf merupakan mashdar kata jadian bahasa Arab dari fi’il kata kerjaتصوف يتصوف تصوفا yang merupakan فعل مزيد بحرفين kata kerja tambahan dua huruf; yaitu “Ta” dan “Tasydid” yang sebenarnya berasal dari فعل مجزد ثلاثي kata kerja dari tiga huruf, yang berbunyi يصوف صاف menjadi صوفا mashdar; yang artinya mempunyai bulu yabg banyak. Perubahan dari kata صوفا يصوف صوف menjadi kata ثصوف يثصوف ثصوفا yang diistilahkan dalam bahasa Arab ; yang artinya menjadi atau berpindah.[2] Jadi lafal الثصوف at tasawufu yang artinya menjadi berbulu yang banyak; dengan arti sebenarnya adalah menjadi sufi, yang ciri khas pakaiannya selalu terbuat dari bulu domba wol.[3] Ada yang mengemukakan bahwa kata tasawuf berasal dari kata shafa yang berarti suci, bersih atau murni. Pandangan lain mengatakan bahwa kata tasawuf berasal dari kata shaff yaitu barisan. Demikian pula ada yang mengatakan bahwa tasawuf dari kata ash-shufu yang artinya buku atau wol kasar.[4] Ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahlinya antara lain Asy-Syekh Muhammmad Amin Al-Kundy mengatakan “Tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui hal ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihknnya dari sifat-sifat yang buruk dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji, cara melakukan suluk, melangkah menuju keridhaan Allah dan meninggalkan larangan-Nya menuju kepada perintah-Nya”[5]. Imam Al-Ghazali mengemukakan pendapat Abu Bakar Al-Kataany yang mengatakan “Tasawuf adalah budi pekerti; barang siapa yang memberikan bekal budi pekerti atasmu, berarti ia memberikan bekal atas dirimu dalam tasawuf. Maka hamba yang jiwanya menerima perintah untuk beramal karena sesungguhnya mereka melakukan suluk dengan nur petunjuk islam. Dan Ahli Zuhud yang jiwanya menerima perintah untuk melakukan beberapa akhlaq terpuji, karena mereka telah melakukan suluk dengan nur petunjuk imannya”.[6] As-Suhrawardy mengemukakan pendapat Ma’ruf Al-Karakhy yang mengatakan “Tasawuf adalah mencari hakikat dan meninggalkan sesuatu yang ada di tangan makhluk kesenangan duniawi”.[7] Dari berbagai pandangan ulama tasawuf tentang asal usul kata tasawuf dapat disimpulkan bahwa pengertian tasawuf adalah kesadaran murni yang mengarahkan jiwa secara benar kepada mal shalih dan kegiatan yang sungguh-sungguh, menjauhkan dri dari keduniaan dalam rangka pendekatan diri kepada Allah untuk mendapatkan perasaan berhubungan erat denganNya.[8] Sejarah Asal Mula Tasawuf Fase Pertama Abad 1-2 H/7-8 M Sebenarnya kehidupan sufi sudah terdapat pada diri Nabi Muhammad Saw. Dimana dalam sebuah kehidupan beliau sehari-hari terkesan amat sederhana dan menderita, disamping menghabiskan waktunya untuk beribadah dan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT.[9] Bahkan seperti diketahui, bahwa beliau diangkat sebagai Rasul Allah, beliau sering kali melakukan kegiatan sufi dengan melakukan uzlah di Gua Hira selama berbulan-bulan lamanya sampai beliau menerima wahyu pertama saat diangkat sebagai Rasul Allah. Setelah beliau resmi diangkat sebagai Nabi utusan Allah, keadaan dan cara hidup beliau masih ditandai oleh jiwa dan kerakyatan, meskipun beliau berada dalam lingkaran keadaan hidup dapat terpenuhi semua keinginan lantaran kekuasaannya sebagai Nabi yang menjadi kekasih Tuhannya.[10] Perkembangan Tasawuf pada Masa Sahabat Para sahabat juga mencontohi kehidupan Rasulullah yang serba sederhana, di mana hidupnya hanya semata-mata diabdikan kepada tuhanya. Beberapa sufi di abad pertama, dan berfungsi sebagai mahaguru bagi pendatang dari luar kota Madinah, yang tertarik kepada kehidupan sufi. Sahabat-sahabat yang dimaksud adalah Abu Bakar As-sidiq W. 13 H Umar bin Khattab W. 23 H Usman bin Affan W. 35 H Ali bin Abi Thalib W. 40 H Salman Al-Farisy Abu Zar Al-Ghifari Ammar bin Yasir Huzaidah bin Al-Yaman Niqdah bin Aswad Perkembangan Tasawuf pada Masa Tabiin Ulama-ulama sufi dari kalangan tabiin, adalah murid dari ulama-ulama sufi dari kalangan sahabat.[11] Ada beberapa tokoh-tokoh ulama sufi tabiin antar lain Al-Hasan Al-Bashri 22-110 H Rabi’ah Al-Adawiyah W. 105 H Sufyan bin Said Ats-Tsaury 97-161 H Daun Ath-Thaiy W. 165 H Syaqieq Al-Bakhiy W. 194 H Pada abad pertama Hijriyah, Ulama-ulama tasawuf hanya berada di beberapa kota yang tidak jauh dari madinah. Tetapi di abad kedua Hijriyah, ulama-ulama sudah menyebar di wilayah kekuasaan islam. Ciri lain yang terdapat pada perkembangan tasawuf di abad pertama dan kedua Hijriyah adalah kemurniannya dibandingkan dengan tasawuf di abad-abad sesudanya. Fase kedua Abad ke 3-4 H/ 9-10 M Fase kedua ini diawali dengan masa peralihan’ di mana para asketis sudah tidak lagi dikenal sebagai asketis tapi lebih dikenal sebagai sufi karena sudah sedikit ditandai perilaku tasawuf.[12] Perkembangan Tasawf pada Abad Ketiga Pada abad ini, terlihat perkembangan tasawuf yang pesat, ditandai dengan adanya segolongan ahli tasawuf yang mencoba memiliki inti ajaran tasawuf yang berkembang di masa itu.[13] Sehingga mereka membaginya menjadi tiga macam, yaitu Tasawuf yang berintikan ilmu jiwa Tasawuf yang berintikan ilmu akhlak Tasawuf yang berintikan metafisika[14] Sedangkan tokoh-tokoh sufi yang terkenal abad ini; antara lain Abu Sulaiman Ad-Darany W. 215 H Ahmad bin Al-Hawary Ad-Damasqiy W. 230 H Abul Faidh Dzun Nun bin Ibrahim Al-Mishriy W. 245 H Abu Yazid Al-Bushthamy W. 261 H/874 M Junaid Al-Baghdady W. 298 H Al-Hallaj lahir 244 H/858 M Di akhir abad ketiga hijriyah ini, mulai timbul perkembangan baru dalam sejarah tasawuf, yang ditandai dengan bermunculannya lembaga pendidikan dan pengajaran, yang di dalamnya terdapat kegiatan pengajaran tasawuf dan latihan-latihan rohaniyah. Perkembangan Tasawuf pada Abad Keempat Pada abad ini, ditandai dengan kemajuan ilmu tasawuf yang lebih pesat dibandingkan dengan kemajuan di abad ketiga hijriyah karena usaha maksimal ulama tasawuf untuk mengembangkan ajaran tasawuf masing-masing.[15] Sehingga kota Baghdad yamg hanya satu-satunya kota yang terkenal sebagai pusat kegiatan tasawuf yang paling besar sebelum masa itu, tersaing oleh kota-kota besar lainnya. Upaya untuk mengembangkan ajaran tasawuf di luar kota Baghdad, dipelopori oleh beberapa ulama yamg terkenal kealimannya, antara lain Musa Al-Anshary, mengajarkan ilmu tasawuf di Khurasan Persia atau Iran, dan wafat di sana tahun 320 H. Abu Hamid bin Muhammad Ar-Rubazy, mengajarkannya di salah satu kota di Mesir, dan wafat di sana tahun 322 H Abu Zaid Al-Adamy, mengajarkannya di semannjung Arabiyah, dan wafat di sana tahun 314 H Abu Ali Muhammad bin Abdil Wahab As-Saqafy, mengajarkannya di Nasaibur dan kota Syaraz, sehingga beliau wafat tahun 328 H Perkembangan tasawuf di berbagai negeri dan kota, tidak mengurangi perkembangan tasawuf di kota Baghdad.[16] Fase ketiga Abad 5 H/6 M Pada abad kelima ini aliran tasawuf kelompok kedua yang dikembangkan oleh Abu Yazid Al-Busthamy dan Husain bin Mansur Al-Hallaj pada abad ketiga dan keempat H mulai tenggelam dan mulai muncul kembali dalam bentuk lain. Pada abad inilah terlihat tanda-tanda semakin dekatnya corak tasawuf dengan ajaran tasawuf yang di amalkan pada abad pertama Hijriyah. Tetapi pada abad sesudahnya, kembali terlihat ada tanda-tanda yang menjurus kepada perbedaan pendapat ahli tasawuf dengan fuqaha beserta mutakallimin, karena corak tasawuf falsafi yang telah diamalkan pada abad ketiga dan keempat Hijriyah kembali muncul di kalangan umat Isalm.[17] Fase Keempat Abad 6 H Pada fase ini, tasawuf yang dikembangkan pada abad ketiga dan keempat dan pernah tenggelam pada abad kelima Hijriyah, muncul kembali dan lebih dikembangkan para sufi dan juga filosof. Tasawuf ini kemudian dikenal dengan tasawuf falsafi yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional. Berbeda dengan tasawuf sunni, tasawuf falsafi menggunakan terminologi folosofis dalam pengungkapannya.[18] Perkembangan tasawuf pada abad keenam Hijriyah banyak ulama tasawuf yang berpengaruh dalam perkembangan taasawuf abad ini antara lain Syihabuddin Abul Futu As-Suhrawardy W. 587 H/1191 M. Ia mulai belajar filsafat dan ushul fiqh pada Asy-Syekh Al-Imam Majdudin Al-Jily di Aleppo, bahkan sebagian besar ulama dari berbagai disiplin ilmu agama di negeri itu, telah dikunjunginya untuk menimba ilmu pengetahuan dari mereka.[19] Manfaat Tasawuf Tasawuf adalah suatu kehidupan rohani yang merupakan fitrah manusia dengan tujuan untuk mencapai hakikat yang tinggi, berada dekat atau sedekat mungkin dengan Allah dengan jalan mensucikan jiwanya, dengan melepaskan jiwanya dari kungkungan jasadnya yang menyadarkan hanya pada kehidupan kebendaan, di samping juga melepaskan jiwanya dari noda-noda sifat dan perbuatan yang tercela. Tasawuf bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus dari Tuhan. Hubungan yang dimaksud mempunyai makna yang penuh kesadaran, bahwa manusia sedang berada di hadirat Tuhan.[20] Semua sufi berpendapat bahwa untuk mencapai tujuan dekat atau berada di hadirat Allah, satu-satunya jalan hanyalah dengan “kesucian jiwa”. Kehidupan yang kekal adalah kehidupan di akhirat nanti yang kebahagiaannya amat tergantung pada selamatnya rohani dari perbuatan dosa dan pelanggaran. Untuk mewujudkan rohani yang sehat termasuk salah satu tugas tasawuf yang utama. Kebahagiaan yang hakiki dalam kehidupan di dunia ini sebenarnya terletak pada adanya ketenangan batin yang dihasilkan dari kepercayaan dan ketundukan pada Tuhan. Pada saat seseorang usianya sudah lanjut yang ditandai dengan melemahnya fisik, kurang berfungsinya pencernaaan dan pancaindera, saat seperti ini manusia tidak ada jalan lain kecuali dengan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, tempat ia harus mempertanggungawabkan amalnya.[21] Dalam rangka mensucikan jiwa demi tercapainya kesempurnaan dan kebahagiaan hidup, maka di perlukan suatu riyadah latihan dari satu tahap ke tahap lain yang lebih tinggi. Jadi untuk mencapai kesempurnaan rohani tidaklah dapat dicapai secara sepontan dan sekaligus.[22] KESIMPULAN Sebenarnya kehidupan sufi sudah terdapat pada diri Nabi Muhammad Saw. Dimana dalam sebuah kehidupan beliau sehari-hari terkesan amat sederhana dan menderita, disamping menghabiskan waktunya untuk beribadah dan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT. Para sahabat juga mencontohi kehidupan Rasulullah yang serba sederhana, di mana hidupnya hanya semata-mata diabdikan kepada tuhanya. Pada abad pertama Hijriyah, Ulama-ulama tasawuf hanya berada di beberapa kota yang tidak jauh dari madinah. Tetapi di abad kedua Hijriyah, ulama-ulama sudah menyebar di wilayah kekuasaan islam. tasawuf yang dikembangkan pada abad ketiga dan keempat dan pernah tenggelam pada abad kelima Hijriyah, muncul kembali dan lebih dikembangkan para sufi dan juga filosof. Tasawuf ini kemudian dikenal dengan tasawuf falsafi yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional. Berbeda dengan tasawuf sunni, tasawuf falsafi menggunakan terminologi folosofis dalam pengungkapannya. Tasawuf bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus dari Tuhan. Hubungan yang dimaksud mempunyai makna yang penuh kesadaran, bahwa manusia sedang berada di hadirat Tuhan. Semua sufi berpendapat bahwa untuk mencapai tujuan dekat atau berada di hadirat Allah, satu-satunya jalan hanyalah dengan “kesucian jiwa”. Dalam rangka mensucikan jiwa demi tercapainya kesempurnaan dan kebahagiaan hidup, maka di perlukan suatu riyadah latihan dari satu tahap ke tahap lain yang lebih tinggi. Jadi untuk mencapai kesempurnaan rohani tidaklah dapat dicapai secara sepontan dan sekaligus. DAFTAR PUSTAKA Mustofa, A, Ahklak Tasawuf, Bandung CV Pustaka Setia, 2014. Cet. Ke 6. Nasution, dan Rayani, Akhlak Tasawuf Pengenalan, Pemahaman dan pengaplikasiannya, Jakarta PT RajaGrafindo Persada, 2013. Cet. Ke 1. Nata, Abuddin, Akhlak Taswuf, Jakarta PT RajaGrafindo Persada, 2012. Cet. Ke 2. Umar, Nasaruddin, Tasawuf Modern, Jakarta Repiblika Penerbit, 2014. Cet. Ke 1. Zuhri, Amat, Imu Tasawuf, Yogyakarta STAIN Press Pekalongan, 2010. Cet. Ke 4. [1] Ahmad Bangun Nasution & Rayani Hanum siregar, Akhlak Tasawuf Pengenalan, Pemahaman, dan pengaplikasiannya Jakarta PT Rajagrafindo Persada, 2013, hlm. 3 [2] A mustofa, Ahklak Tasawuf, cet . VI Bandung CV Pustaka Setia, 2014, hlm. 201 [3] Ibid, hlm. 202 [4] Ahmad Bangun Nasution, Ibid, hlm. 3 [5] A mustofa, Ibid, hlm 203 [6] Ibid, hlm. 204 [7] Ibid, hlm. 205 [8] Ahmad Bangun Nasution, Ibid, hlm. 3 [9] Ibid, hlm. 17 [10] Ibid, hlm. 17 [11] A mustofa, Ibid, hlm. 214 [12] Amat zuhri, Ilmu Tasawuf Yogyakarta STAINPRESS Pekalongan, 2010 hlm. 22 [13] Ahmad Bangun Nasution & Rayani Hanum siregar, Akhlak Tasawuf Pengenalan, Pemahaman, dan pengaplikasiannya Jakarta PT Rajagrafindo Persada, 2013, hlm. 22 [14] A mustofa, Ahklak Tasawuf, cet . VI Bandung CV Pustaka Setia, 2014, hlm. 220 [15] Ahmad Bangun Nasution & Rayani Hanum siregar, Akhlak Tasawuf Pengenalan, Pemahaman, dan pengaplikasiannya Jakarta PT Rajagrafindo Persada, 2013, hlm. 22 [16] A mustofa, Ahklak Tasawuf, cet . VI Bandung CV Pustaka Setia, 2014, hlm. 225 [17] Amat zuhri, Ilmu Tasawuf Yogyakarta STAINPRESS Pekalongan, 2010 hlm. 24 [18]Ibid, hlm. 26 [19] Ahmad Bangun Nasutin, Ibid, hlm. 23 [20] A mustofa, Ahklak Tasawuf, cet . VI Bandung CV Pustaka Setia, 2014, hlm. 206 [21] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta PT RajaGrafindo Persada, 2012, hlm. 191 [22]A mustofa, Ahklak Tasawuf, cet . VI Bandung CV Pustaka Setia, 2014, hlm. 207
Imam Al-Ghazali, seorang ulama dan sufi terkenal pada abad kelima Hijriyah A. Pendahuluan Tasawuf merupakan salah satu cabang ilmu dalam Islam yang menekankan pada aspek spiritual dan kebersihan batin. Dalam kaitannya dengan diri manusia, tasawuf adalah ilmu untuk mengelola aspek rohaninya yang lebih sering disebut dengan hati atau qalbu. Dalam kaitannya dengan kehidupan, ilmu ini mengarahkan manusia untuk lebih memprioritaskan kehidupan akhirat dari pada kehidupan dunia. Sedangkan dalam kaitannya dengan pemahaman keagamaan, tasawuf lebih cenderung mengkaji aspek esoterik dari pada eksoterik, lebih menekankan penafsiran bathiniyah dari pada penafsiran lahiriyah. Dalam makalah ini, akan dibahas mengenai sejarah pertumbuhan dan perkembangan tasawuf melalui penjelasan secara sistematis dan umum. Di dalamnya disertai dengan nama-nama tokoh yang dihsilkan pada tiap-tiap fase perkembangan tasawuf. Dari pembahasan pemakalah, kami sadari masih banyak sekali kekurangan. Oleh karena itu, kapada para pembaca sangat diharapkan sumbangan pemikirannya demi tercapai kesempurnaan makalah ini kepada yang lebih baik lagi. B. Beberapa Anggapan Penyebab Kemunculan Tasawuf Kelahiran tasawuf atau sufisme sebagai sebuah ilmu diketahui memiliki banyak versi. Mengenai kemunculan tasawuf sendiri terdapat dua anggapan, yakni ada yang menganggap bahwa lahirnya ilmu tasawuf disebabkan karena adanya pengaruh ajaran di luar Islam, tetapi ada pula yang menganggap lahirnya tasawuf itu bersamaan dengan lahirnya agama Islam[1]. Masing-masing anggapan tersebut akan diulas di bawah ini. 1. Pengaruh Ajaran Non-Islam Diketahui lahirnya ajaran tasawuf karena adanya pengaruh dari ajaran-ajaran di luar Islam, antara lain a. Pengaruh ajaran Kristen, yaitu adanya tulisan–tulisan tentang rahib-rahib yang hidup menjauhi dunia dan mengasingkan diri di padang pasir Arabia atau menempati biara-biara. b. Pengaruh ajaran Hindu dan Budha 1 Ajaran Hindu banyak mendorong umatnya untuk meninggalkan kehidupan dunia untuk lebih mendekatkan diri dengan Tuhannya untuk mencapai Atman dengan Brahman. 2 Ajaran Budha tentang nirwana, untuk mencapainya seorang Budha diwajibkan meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki hidup kontemplasi. c. Pengaruh filsafat mistik phytagoras, yaitu kesenangan ruh yang sebenarnya adalah berada di alam samawi. Maka untuk memperolehnya, manusia harus membersihkan ruh dengan meninggalkan kehidupan material. Dalam tasawuf dikenal dengan zuhud. d. Pengaruh filsafat emanasi Plotinus. Dalam konsep emanasi dijelaskan bahwa Dzat Tuhan Yang Maha Esa-lah yang memancar dari dalam wujud ini. Ruh berasal dari Tuhan dan akan kembali kepadaNya. Dalam tasawuf dikenal dengan wahdatul wujud[2]. 2. Lahirnya Tasawuf Bersamaan dengan Lahirnya Agama Islam Anggapan yang kedua adalah bahwa tasawuf atau sufisme itu lahir dari agama Islam sendiri. Hal ini bisa dlihat dari ayat Al-Qur’an maupun hadits tentang ajaran tasawuf. Misal dalam surat Al-Baqarah ayat 115 yang artinya, Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui. Al-Baqarah 115 Dalam ayat lain Allah juga menerangkan, “Telah Kami ciptakan manusia dan kami mengetahui apa yang dibisikkan olehnya. Kami lebih dekat kepada manusia ketimbang pembuluh darah yang ada pada lehernya”. Qaaf 16. Selain itu, dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari juga disebutkan hal serupa, yang artinya “Jika seorang hamba mendekati-Ku sejengkal, Aku akan mendekatinya sehasta, jka ia medekati-Ku sehasta, niscaya Aku akan mendekatinya sedepa, dan jika ia mendekati-Ku datang dengan berjalan, niscaya Aku akan mendatanginya dengan berlari”. Selain dalil diatas, masih banyak lagi ayat Qur’an maupun hadits yang dijadikan dasar tasawuf oleh para sufi. Oleh karena itu, terlepas dari adanya pengaruh dari luar atau tidak, Islam sendiri mengajarkan sufisme. Ini berarti kelahiran tasawuf bersamaan dengan lahirnya Islam sendiri[1]. C. Masa Perkembangan Tasawuf Hidup kerohanian yang dalam Islam sering disebut dengan sufisme ini nampak melekat pada diri sebagian umat Islam di seluruh dunia. Tentu saja kehidupan seperti ini tidak lepas dari sejarah pertumbuhan dan perkembangannya hingga terbentuklah ilmu tasawuf pada saat ini. Dari beberapa literatur yang ada, disebutkan bahwa sufisme Islam dimulai pada abad pertama Hijriyah, yang mana pada masa itu Rasulullah Saw masih hidup, yang segala kehidupannya cukup membawa arti penting dalam terbentuknya tasawuf ini. Perjalanan tasawuf ini pun kemudian dilanjutkan pada masa-masa selanjutnya hingga abad ketujuh Hijriyah. Adapun lebih jelasnya akan diterangkan berikut ini. 1. Tasawuf Pada Abad Pertama dan Kedua Hijriyah Masa Rasulullah Saw, Para Sahabat, dan Tabiin a. Tasawuf Masa Rasulullah Saw Pada masa ini banyak ditemui contoh-contoh kehidupan sufi yang terdapat pada diri Rasulullah Saw. Dalam kehidupan beliau sehari-hari yang penuh dengan kehidupan yang sangat sederhana dan penuh dengan penderitaan, juga beliau menghabiskan waktunya untuk beribadah kepada Allah Swt. Sebelum diangkat sebagai Rasul, beliau sering melakukan khalwat di Gua Hira’ Bukit Nur untuk mendapat petunjuk dari Tuhan. Didapati beliau melakukan khalwat berulang-ulang kali dengan bekal hanya beberapa potong roti kering dengan air minum serta buah-buahan yang hal ini menggambarkan makanan yang sangat sederhana bagi seorang sufi. Di tempat itu, beliau mengasingkan diri uzlah dan memisahkan diri infirad dari masyarakat Quraisy yang sudah rusak dan menyimpang dari ajaran Tuhannya. Beliau ingin mencari kehidupan yang berbeda dengan kehidupan orang-orang Quraisy tersebut menuju suatu kehidupan yang membawa kepada kesempurnaan dan kebahagiaan dunia akhirat. Maka dari itu, beliau hendak bertemu liqa’ dengan Allah dan ingin meminta petunjuk kepada-Nya. Setelah beliau mendapat petunjuk melalui malaikat jibril, maka mulailah beliau mengajak manusia agar berusaha menyempurnakan kehidupannya dan harus memiliki pribadi yang baik dan akhlak yang luhur demi mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat yang disebut dengan sa’atud daraini. Kemudian setelah beliau diangkat sebagai Rasul dan telah menjabat sebagai pemimpin atau kepala negara di Madinah, kehidupan beliau juga nampak sederhana sekali. Dalam rumah tidak ada perabot rumah tangga yang mewah, makanan yang enak, dan jarang terdapat alat-alat rumah tangga. Untuk urusan makan, jangankan makanan yang lezat, makanan yang biasa dimakan sehari-hari belum tentu tersedia pada setiap waktu makan. Sayyidah Aisyah pernah mengatakan bahwa dalam sehari-hari Rasulullah Saw tidak pernah makan sampai dua kali dan paling banyak makanan yang tersimpan tidak lebih dari sepotong roti yang itupun dimakan oleh tiga orang. Diketahui pula beliau tidur di atas tikar sampai berbekas pada pipi beliau. Begitulah kehidupan sufisme dari seorang Rasulullah Saw, meski sebagai pemimpin untuk umat Islam, kehidupan beliau penuh dengan kesederhanaan. Hidup beliau digunakan untuk berkhidmat dan berbakti kepada Allah, menyampaikan agama Islam kepada seluruh umat manusia, tidak menghiraukan kepentingan diri sendiri ataupun keluarganya, namun seluruh hidupnya digunakan untuk umatnya[1]. b. Tasawuf Masa Para Sahabat Begitu halnya dengan para sahabat. Mereka para sahabat besar juga mencontoh kehidupan Rasulullah Saw. Pada era kepemimpinan Khulafaur Rasyidin, semua kehidupan mereka penuh dengan kesederhanaan dan fokus perhatian mereka hanya tertuju kepada Allah dan berbakti kepada masyarakat. Para khulafaur Rasyidin yang dimaksud antara lain Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abu Thalib. Masing-masing tasawuf yang dimiliki para sahabat Khulafaur Rasyidin akan dijelaskan secara singkat di bawah ini. Abu Bakar, adalah seorang saudagar yang kaya raya di Makkah, namun ia rela meninggalkan semua harta bendanya demi mengikuti dakwah Rasulullah Saw. Abu Bakar juga memiliki akhlak yang tinggi dan selalu hidup saleh dan taqwa. Pada masa kehidupannya hanya memakai pakaian sehelai kain saja. Bahkan segala harta bendanya dikorbankan demi kepentingan agama dan negara. Disebutkan dalam sebuah riwayat, pada saat Rasulullah Saw masih hidup yang ketika itu akan menghadapi perang Tabuk, beliau bertanya kepada para sahabat siapakah yang bersedia memberikan harta bendanya di jalan Allah. Abu Bakar kemudian menjawab bahwa dirinya akan menyerahkan seluruh harta kekayaannya. Kemudian setelah Rasulullah Saw bertanya kepada Abu Bakar terkait sesuatu yang akan ditinggalkan untuk dirinya dan keluarganya, Abu Bakar menjawab bahwa cukup baginya meninggalkan Allah dan Rasul-Nya. Umar bin Khattab, adalah sahabat Nabi Saw yang memiliki jiwa yang murni dan akhlak yang tinggi. Ada riwayat yang mengisahkan kehidupan sufisme Umar, yang semuanya ketika ia menjabat sebagai khalifah. Yang pertama ketika Umar naik ke atas mimbar untuk menyampaikan pidato, sedangkan pakaian yang ia pakai bertambal-tambal. Yang kedua, ketika Abdullah bin Umar masih kecil bermain-main dengan temannya, semua temannya tersebut mengejek karena pakaian yang dipakainya penuh tambalan. Hal tersebut akhirnya disampaikan kepada ayahnya, Umar bin Khattab, yang pada saat itu menjabat sebagai kepala negara. Ayahnya pun sedih karena tidak memiliki cukup uang untuk membelikan baju untuk anaknya. Maka ditulislah surat kepada pegawai Baitul Mal untuk meminjam uang sebagai ganti pemotongan gaji bulan depan. Setelah menerima surat tersebut kemudian pegawai tersebut bertanya kepada Umar apakah yakin bahwa umurnya sampai bulan depan. Mendengar hal tersebut, Umar akhirnya tersedu sambil mengeluarkan air mata dan akhirnya tidak jadi meminjam uang di Baitul Mal. Dan masih banyak lagi cerita yang mengisahkan kehidupan Umar yang sangat sufistik tersebut. Utsman bin Affan, adalah sosok yang diberi oleh Allah kelapangan rezeki. Meski begitu ia tidak terlalu terpengaruh dengan kekayaannya. Ia selalu memegang Al-Qur’an pada tangannya. Menjelang malam hari ia hanya belajar Al-Qur’an sampai jauh malam. Bahkan ketika dibunuh oleh pemberontak, ia berada dalam membaca Al-Qur’an. Sifat sufisme yang dimiliki Utsman yang lain ialah, ketika terjadi kemarau panjang pada masa Khalifah Abu Bakar. Banyak penduduk Madinah yang menderita kelaparan karena stok makanan telah menipis. Abu Bakar hanya menyuruh sabar dan menunggu pertolongan dari Allah. Tidak lama setelah itu, ada kira-kira seribu ekor unta milik Utsman bin Affan datang dari Syam dengan membawa bahan makanan dan minyak. Setelah unta-unta tersebut berhenti di depan rumah Utsman, banyak pedagang yang ingin membeli barang dagangannya tersebut dengan berbagai macam tawaran, bahkan ada pedagang yang mengajukan tawarannya hingga sepuluh kali lipat. Akan tetapi Utsman hanya memerintahkan untuk mengumpulkan para fakir miskin pada keesokan harinya dan memberikan hasil dagangannya itu secara cuma-cuma. Begitupun dengan Ali bin Abu Thalib. Sifat kesederhanaannya tidak kalah dengan para sahabat yang lain. Ketika menjabat sebagai khalifah, pakaian yang ia pakai banyak yang sobek, dan ketika sobek ia sendiri yang menjahitnya. Suatu ketika ia ditanya seseorang mengapa sampai seperti itu pakaiannya yang sobek, ia hanya menjawab untuk mengkhuyukkan hati dan untuk menjadi teladan bagi orang-orang yang beriman. Ada lagi sahabat yang terkenal zuhud selain para sahabat Khulafaur Rasyidin di atas, yakni Huzaifah bin Yaman. Abu Thalib Al-Makki dalam kitabnya Qutul Qulub’ pernah menerangkan bahwa Huzaifah mempunyai ilmu yang luas tentang akhlak serta mendalam keyakinannya tentang hikmah-hikmah agama bila dibandingkan dengan para sahabat yang lain. Bahkan Umar dan Utsman selalu meminta pendapat-pendapatnya tentang suatu hal yang sulit dimengerti. Pernah ia ditanya darimana ia mendapatkan ilmu yang demikian itu. Huzaifah menjawab bahwa Rasulullah Saw memberikan keistimewaan kepadanya karena orang selalu bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan, sedang dirinya selalu bertanya tentang kejahatan karena ia takut terlibat dalam kejahatan. Dari kisah sufisme para sahabat di atas, terutama dari sahabat Huzaifah, maka para sufi berpendapat ada hal-hal yang perlu disimpan sebagai rahasia dalam ilmu tasawuf. Karena tidak semua ajaran tasawuf boleh disebarluaskan kepada siapapun. Memang ada beberapa ajaran tasawuf yang tidak boleh diajarkan secara sembarangan kecuali kepada orang-orang yang dipilih dan dianggap telah layak untuk menerimanya, sebab Abu Hurairah pernah berkata Aku memperoleh dari Rasulullah Saw dua bejana ilmu pengetahuan. Satu di antaranya aku tanyakan kepada orang lain dan satunya lagi tidak aku tanyakan, dan kalau aku tanyakan niscaya leherku akan dipenggal orang Riwayat Bukhari[2]. c. Tasawuf Masa Para Tabi’in Ada dua tabi’in besar pada masa ini dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu tasawuf, antara lain Hasan Basri, Rabiatul Adawiyah, Sufyan Tsauri, Rabi’ bin Haitsam, Jabir bin Hayyan, Kulaib Ash-Shidawi, Manshur bin Ammar, Malik bin Dinar, Al-Fadhl Al-Ragassyi, Rabbaah bin Amr Al-Qisyi, Shalih bin Basyr Al-Murri, Abdul Wahid bin Zaid, Ibrahim bin Adham, Syaqiq Al-Balakhi, dan lain-lain yang tidak dapat disebutkan disini. Namun yang paling popular di antaranya ialah Hasan Basri, Rabiatul Adawiyah, dan Sufyan Tsauri. 1 Hasan Basri Setelah era Huzaifah bin Yaman, kemudian disusul generasi sufi yang dipelopori oleh Hasan Basri. Hasan Basri belajar tasawuf kepada Huzaifah yang kemudian menjadikannya sebagai orang besar dalam perkembangan ilmu tasawuf, bahkan dianggap sebagai imam orang-orang sufi. Hasan Basri lahir di Madinah pada tahun 21 Hijriyah atau 632 Masehi, dan meninggal pada tahun 110 H. Hasan Basri adalah salah seorang tabi’in yang terbesar dan ternama, baik dalam ilmu pengetahuan maupun dalam kesalehan dan kehidupan zuhudnya. Hasan Basri pula yang mula-mula membahas ilmu-ilmu kebatinan, kemurnian akhlak, dan usaha-usaha untuk membersihkan jiwa. Dr. Hasan Ibrahim Hasan menerangkan dalam bukunya Tarikhul Islam’, bahwa kehidupan tasawuf yang asli itu berada dalam kehidupan Hasan Basri. Hasan Basri pernah bertemu dengan 70 orang yang mengikuti perang Badar dan 300 orang sahabat yang lain. Hasan Basri memiliki kepribadian yang sangat menarik. Ketika kecil ia pernah mendapat pujian dari Ali bin Abu Thalib. Suatu ketika, Ali bin Abu Thalib masuk ke dalam masjid di Basrah. Dilihatnya banyak anak-anak sedang asyik bercerita di dalam masjid, maka Ali mendatangi mereka dan berusaha mengusirnya keluar masjid. Namun tiba-tiba ia mendapati salah seorang di antara mereka seorang anak yang tampan, yakni Hasan Basri. Hasan Basri pada saat itu sedang asyik bercerita, dan Ali sangat tertarik dengan ceritanya itu. Demi memelihara ketenangan dan ketenteraman dalam masjid karena ramainya anak-anak, maka Ali mengajukan pertanyaan kepada Hasan Basri, “Hai anak muda! Aku ingin bertanya kepadamu dua perkara. Jika engkau dapat menjawabnya, maka aku akan biarkan engkau berbicara terus. Tetapi jika engkau tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan, engkau akan kukeluarkan dari dalam masjid ini seperti anak-anak yang lain”. Anak muda yang bernama Hasan Basri itu pun berkata, “Silakan bertanya wahai Amirul Mukminin”. Kemudian Ali bin Abu Thalib pun bertanya, “Ceritakan kepadaku apa kebaikan agama dan apa pula kerusakannya?”. Dijawab oleh Hasan Basri, “Kebaikan agama itu adalah hidup wara’, dan kerusakan agama itu adalah hidup tamak”. Setelah dijawab demikian, maka Ali pun berkata, “Engkau benar, dan sekarang berbicaralah”. Dasar ajaran tasawuf Hasan Basri adalah zuhud terhadap dunia, menolak kemegahan dunia semata-mata menuju kepada Allah, bertawakal kepada-Nya, khauf takut, dan raja’ pengharapan. Masing-masing konsep atau dasar ajaran tasawuf Hasan Basri tersebut akan diuraikan berikut a Zuhud berarti hati tidak menyenangi dunia dan berpaling terhadap keindahan dan kemewahannya karena berbuat taat kepada Allah. Zuhud adalah suatu tingkatan jiwa yang tinggi, dan ini baru dapat dicapai apabila telah tertanam perasaan takut dan harap di dalam hati. b Takut khauf bukan berarti takut kepada Allah, namun takut akan terjerumus ke dalam jurang kemaksiatan yang menyebabkannya mendapat murka Allah Swt. Pandangan inilah yang menyebabkan Hasan Basri bersedih hati, senantiasa takut dan gemetar, kalau ia tidak dapat mengerjakan perintah Allah sepenuhnya dan tidak dapat menghentikan larangan Allah sepenuhnya karena digoda oleh syetan dan hawa nafsu keinginan. Dalam hal ini kadang-kadang orang merasa biarlah masuk neraka daripada kena murka. c Setelah merasa takut kepada kemurkaan Allah, maka ikutilah ketakutan itu dengan pengharapan raja’. Kalau seorang manusia setelah berusaha memenuhi segala perintah Allah dan berusaha menjauhkan dirinya dari kejahatan, namun karena kelalaian dan nafsunya, ternyata masih mampu menyeretnya ke jurang kejahatan, manusia tidak boleh berputus asa, terus selalu menanamkan rasa harapan terhadap ampunan dari Allah Swt. Maka dari itu, tujuan pokok dari khauf dan raja’ ialah ingin terbebas dari kejahatan dan ingin mencapai kebaikan dan ketaqwaan[1]. 2 Rabiatul Adawiyah Seorang sufi wanita yang besar pada masa ini juga ialah bernama Rabiah binti Ismail Al-Adawiyah, yang dikenal dengan nama Rabiatul Adawiyah. Menurut Ibnu Hilqan, Rabiatul Adawiyah wafat sekitar tahun 135 H/796 M. Ia dikenal sebagai seorang yang hidup saleh dan taqwa. Sepanjang hari ia menegakkan ibadah, seperti shalat dan berpuasa. Ia memiliki murid yang terdiri dari kaum wanita. Secara garis besar, konsep tasawuf Rabiatul Adawiyah dikenal dengan ajaran cinta mahabbah atau hubbulillah. Tingkatan zuhud yang tadinya dirintis oleh Hasan Basri, yakni zuhud karena takut kepada kemurkaan Allah dan mengharap kepada ampunan Allah, ditingkatkan oleh Rabi’atul Adawiyah kepada zuhud karena cinta. Cinta yang telah suci murni itu lebih tinggi daripada takut dan harap, karena cinta yang suci murni tidak mengharapkan apa-apa[2]. Terkait konsep hubbulillah Rabi’atul Adawiyah ini akan diuraikan lebih rinci pada pemakalah berikutnya. 3 Sufyan Tsauri Sufyan Tsauri lahir pada tahun 97 H/602 M, dan wafat di Basrah tahun 121 H/732 M. Ia merupakan seorang ulama hadits yang terkenal dan seorang tabi’in yang sangat zahid dan tak tertandingi. Dalam hal meriwayatkan hadits, ia dijuluki sebagai Amirul Mukminin dalam hal hadits’. Sifat beliau yang sangat kuat ialah tidak mau mendekati raja-raja. Ia hidup pada zaman khalifah Al-Manshur. Setelah menerima ilmu dari gurunya, Hasan Basri, ia pun mengembara dari sebuah kota ke kota lain untuk menerangkan intisari agama kepada murid-muridnya. Sufyan Tsauri pernah mengungkapkan perihal kesufiannya, bahwa jangan kau rusak agamamu dengan kemewahan dan kemegahan yang berlimpah ruah, karena hal itu akan menyebabkan umat Islam tenggelam dalam keduniawian, dan tidak dapat lagi dibedakan mana yang halal dan mana yang haram. Ia juga merasa tidak ada faedahnya berbicara kepada orang-orang yang bermulut manis kepada ulama, tetapi rakyat kian lama kian sengsara[3]. 2. Tasawuf Pada Abad Ketiga dan Keempat Hijriyah a. Ciri-Ciri Perkembangan Tasawuf Pada Abad Ketiga dan Keempat Hijriyah Tasawuf pada abad III dan IV Hijriyah sudah mempunyai corak yang berbeda dengan tasawuf abad sebelumnya. Pada abad ini tasawuf sudah bercorak kefana’an ekstase yang menjurus ke persatuan hamba dengan Tuhannya wahdat al-wujud. Orang sudah ramai membahas tentang lenyap dalam kecintaan ittihad bi al-mahbub, kekal dengan tuhan baqa’ bi al-mahbub, menyaksikan tuhan musyahadah, bertemu dengan nya liqa’ dan menjadi satu dengannya ain al-jama’[1]. Lebih jauh Abu al-Wafa menegaskan, bahwa tasawuf pada abad ini lebih mengarah kepada ciri psikomoral, dan perhatiannya diarahkan pada moral dan tingkah laku. Sebab pada masa ini ilmu tasawuf terbagi menjadi tiga, yaitu Ilmu Jiwa, Ilmu Akhlak, dan Ilmu Metafisika. Ditambah pula bahwa demikian pesatnya perkembangan tasawuf pada abad III dan IV Hijriyah ini, sehingga seolah-olah sudah merupakan madzhab, bahkan sebagai agama yang berdiri sendiri. Pada abad ini pula terdapat dua aliran yaitu tasawuf sunni dan tasawuf semi falsafi[2]. b. Tokoh-Tokoh Sufi Pada Abad Ketiga dan Keempat Hijriyah Ada beberapa tokoh yang bergerak di bidang tasawuf dan kehidupannya berada pada kesufian pada abad ketiga Hijriyah ini, antara lain Abul Faidh Zin-Nun Al-Misri, Abu Yazid Al-Busthami, Yahya bin Muaz, dan Al-Junaid. Sedangkan tokoh tasawuf pada abad keempat Hijriyah antara lain Al-Sari Al-Saqathi, Abu Hamid bin Muhammad Al-Rubazi, Abu Zaid Al-Adami, Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab As-Saqafi, Abu Bakar Syibli, Abu Muhammad Al-Murtasi, dan Husain bin Mansuh Al-Hallaj. Beberapa di antara tokoh-tokoh sufi tersebut akan dijelaskan profil dan pemikirannya tentang tasawuf berikut ini. 1 Abul Faidh Zin-Nun Al-Misri Abul Faidh Zin-Nun Al-Misri atau yang lebih dikenal dengan Zunnun Al-Misri, berasal dari Naubah, yakni daerah di antara Sudan dan Mesir. Ia wafat pada tahun 246 H/860 M. Ia adalah salah seorang murid Imam Malik dan boleh dikatakan bahwa ia adalah yang pertama kali menetapkan teori-teori di dalam ilmu tasawuf pada abad ketiga. Ia banyak sekali memperluas pemahaman tentang jalan menuju Allah. Tujuannya terkait ilmu tasawuf ialah bagaimana cara mencintai Tuhan, membenci yang sedikit, menuruti garis perintah yang diturunkan, dan takut akan berpaling jalan. Pernah ditanya oleh seseorang apa hakikat cinta itu. Zunnun Al-Misri menjawab, “Bahwa engkau mencintai apa yang dicintai Allah, dan engkau membenci apa yang dibenci-Nya. Engkau memohon ridha-Nya, dan sekalian engkau tolak yang akan menghalangimu menuju Dia. Jangan takut akan kebencian orang yang membenci. Dan jangan mementingkan diri dan melihatnya, karena dinding yang sangat tebal untuk melihat-Nya ialah lantaran melihat diri sendiri. Orang yang arif adalah bangga dalam kefakirannya. Apabila disebutnya nama Allah, ia merasa bangga, dan apabila disebut nama dirinya, ia merasa miskin”. Mengenai konsep taubat, Zunnun Al-Misri mengungkapkan bahwa taubat terbagi menjadi dua macam, yaitu taubatnya orang awam, yakni taubat dari dosa, dan taubatnya orang khawash, yaitu taubat dari kelalaian. Demikian pula dengan konsep ma’rifat, olehnya dibagi menjadi tiga macam, yaitu ma’rifat mukmin biasa mu’miniin, ma’rifat ahli bicara mutakallimin dan hukama’, dan ma’rifat waliyullah yang dekat kepada Tuhan dan kenal akan Tuhan dalam hatinya muqarrabiin. Ma’rifat yang terakhir inilah setinggi-tingginya martabat[3]. 2 Abu Yazid Al-Busthami Abu Yazid Al-Busthami memiliki nama kecil Thaifur. Namanya sangat istimewa dan cukup melekat dalam hati orang-orang sufi. Al-Busthami pernah berkata, “Kalau kamu melihat seseorang yang sanggup melakukan pekerjaan keramat yang besar-besar, walaupun dia sanggup terbang di udara, maka janganlah kamu tertipu sebelum kamu melihat bagaimana dia mengikut suruh dan menghentikan tegah dan menjaga batas-batas syariat”. Meski perkataannya tersebut terasa sulit dimengerti, namun bisa ditangkap sebuah pengertian bahwa tasawuf yang diamalkan tidak keluar daari batas-batas syara’. Ada pula perkataannya yang terdengar ganjil’ dan dalam, dan seseorang termasuk kita harus berhati-hati dalam memahaminya. Karena bila salah dalam memahaminya, maka tentu akan menyangka bahwa Al-Busthami memilih jalan di luar ketentuan agama, atau minimal dia telah tersesat. Seperti konsep Hulul’ yang olehnya dikatakan, “Hamba dan Tuhan sewaktu-waktu bisa berpadu menjadi satu”. Atau juga perkataan yang lain yang dikutip oleh Abdul Hamid Zahrawi dalam kitabnya Al-Fiqh wa At-Tasawwuf’, “Tidak ada Tuhan melainkan saya. Sembahlah saya , amat sucilah saya. Alangkah besar kuasaku”. Selanjutnya terkait konsep perjalanan menuju fana’, ia mengatakan bahwa, “Permulaan adanya aku di dalam alam wahdaniyat-Nya, aku menjadi burung yang tubuhnya dari Ahdiyat, dan kedua sayapnya dari daimunah tetap dan kekal. Maka senantiasa aku terbang di udara kaifiyat sepuluh tahun lamanya, sehingga aku dalam udara demikian rupa kali. Maka senantiasa aku terbang dan terbang lagi di dalam medan azal. Maka terlihatlah olehku pohon ahdiyat ….”. Pada akhirnya beliau berkata, “Akhirnya sadarlah aku dan tahulah aku, bahwa sama sekali itu hanyalah tipuan dan khayalan belaka”. Kata-kata yang demikian itu disebut dengan Syathathat, artinya ialah kata-kata yang penuh dengan khayalan. Karena itu perkataan ini tidak dapat dikenakan hukum, sebab orang pada saat itu sedang dimabuk oleh fana’nya, bukan mabuk karena pengaruh alkohol. Perkataan yang tidak lazim tersebut inilah yang akhirnya memunculkan suatu istilah As-Sakar’ mabuk dan Al-Isyq’ rindu dendam[4]. 3 Yahya bin Muaz Yahya bin Muaz adalah seorang sufi yang sezaman dengan Abu Yazid Al-Busthami. Ia mulai memakai ilmu pengetahuan dalam menegakkan paham tasawuf yang kelak menjadi bahan penting bagi ahli-ahli tasawuf yang akan datang. Ia juga banyak sekali membicarakan tentang fana’, wajdan rindu, dan sakar mabuk. Pokok ajaran tasawufnya ialah melanjutkan dari tasawufnya Rabiatul Adawiyah yang masih berkaitan dengan cinta. Intisari cinta dalam tasawufnya ialah tunduk dan patuh secara bulat oleh Allah Swt. Ketundukan dan penyerahan yang membuat jiwa senentiasa mendorong hendak mencapai derajat yang tinggi. Mengenai ma’rifat, ia menambahkan dari dasar-dasar sufi yang ada, yakni mengenal yang haq yang lebih tinggi daripada mengenal sesuatu makhluk. Sedangkan lalai atau luput, ia mengemukakan bahwa lalai adalah terputus dari haq, sedangkan mati hanya terputus hubungan dengan sesama manusia. Untuk itu, lalai dari jalan menuju Allah lebih berbahaya daripada mati. Baginya, apabila hubungan dengan Tuhan telah ada, maka kematian itulah jalan yang sebahagia-bahagianya, sebab bertemu dengan kekasih. Zuhud menurutnya ialah memalingkan kehendak dari sesuatu kehendak kepada yang lebih baik dan lebih bermanfaat. Maka zuhud ini terbagi menjadi tiga perkara a Sedikit, yaitu jangan terlalu banyak harta benda yang dimiliki, karena semuanya itu akan menghambat dalam perjalanan menuju Allah. b Khalwat merenung atau menyendiri, bertafakkur, yaitu tidak banyak bercampur dengan orang lain. Kalau terpaksa bergaul, maka duduklah dengan orang banyak. c Al-Ju’ lapar, yakni jangan terlalu banyak makan, karena banyak makan menimbulkan malas dan mengantuk[5]. 4 Husain bin Mansuh Al-Hallaj Husain bin Mansuh Al-Hallaj lahir di Persia pada tahun 244 H/858 M, yang sebelumnya ia beragama Majusi, kemudian masuk Islam dan terkenal dengan julukan Abu Mughis. Al-Hallaj adalah seorang yang memiliki riwayat yang luar biasa dalam bidang tasawuf. Pandangannya sempat membuat ramai di dunia fiqih, sebab pada masa itu terjadi pertentangan antara ulama fiqih dengan ulama tasawuf karena faktor salah dalam memahami konsep tasawuf. Ada ratusan ulama fiqih pada saat itu menentang ajaran tasawufnya sehingga pada akhir hidupnya dijatuhi hukuman mati. Secara ringkasnya, ajaran tasawuf Al-Hallaj terdiri dari tiga hal, antara lain a Hulul, berarti ketuhanan lahut menjelma ke dalam diri manusia nasut. Hal ini akan terjadi ketika kebatinan seorang manusia sudah suci bersih di dalam menempuh perjalanan dalam hidup kebatinan, maka tingkat hidupnya akan naik dari maqam tingkatan ke maqam yang lain, misalkan dari muslimin, mukminin, shalihin, dan muqarrabin. Pada maqam muqarrabin, orang sudah sangat dekat dengan Tuhan sehingga timbullah penyatuan dirinya dengan Tuhan. b Al-Haqiqatul Muhammadiyah, yaitu Nur Muhammad sebagai asal-usul segala kejadian amal perbuatan dan ilmu pengetahuan. Dan dengan perantaranya lah seluruh alam ini dijadikan. Menurut Al-Hallaj, Nabi Muhammad itu terdiri dua rupa Yang pertama adalah yang qadim, yaitu terjadi sebelum terjadinya seluruh yang ada. Yang kedua adalah yang berupa manusia, yakni sebagai Nabi dan Rasul. Rupa yang kedua manusia/Nabi/Rasul ini akan menempuh kematian, dan rupa yang pertama bersifat qadim. Rupa yang pertama inilah yang oleh Al-Hallaj sebagai asal-usul segala sesuatu. c Wihdatul Adyan, yaitu kesatuan segala agama. Ia berpendapat bahwa semua agama, baik Islam, Yahudi, Nasrani, dan lain-lain, meski berbeda dalam hal nama, namun pada hakikatnya adalah satu. Orang memilih suatu agama atau lahir dalam suatu agama bukan atas dasar kehendaknya sendiri, melainkan sudah ditentukan oleh Allah Swt melalui takdir-Nya[6]. 3. Tasawuf Pada Abad Kelima Hijriyah a. Ciri-Ciri Perkembangan Tasawuf Pada Abad Kelima Hijriyah Kematian Al-Hallaj di atas tiang kayu palang telah menyebabkan kesan yang sangat tidak baik terhadap tasawuf. Salah kaprahnya para sufi dalam memahami tasawuf pada abad sebelumnya menyebabkan pertarungan sengit antara ulama fiqih dengan para sufi sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Ditambah lagi pada masa itu berkembang mazhab Syi’ah Ismailiyah dengan konsep imamah-nya yang mampu mendekatkan para sufi dengan kaum Syi’ah. Sehingga mendekatnya kaum sufi dengan kaum Syi’ah menyebabkan semakin buruknya pandangan ulama fiqih terhadap tasawuf[1]. Atas sebab itulah, tasawuf pada abad V Hijriyah mengadakan konsolidasi. Sebab pada masa ini ditandai dengan kompetisi dan pertarungan antara tasawuf sunni dan tasawuf semi falsafi, dan dimenangkan oleh tasawuf sunni. Kemenangan tasawuf sunni dikarenakan menangnya aliran teologi Ahlus Sunah Wal Jama’ah yang dipelopori oleh Abu Hasan Al-Asy’ari, yang mengkritik keras terhadap teori Abu Yazid Al-Busthami dan Al-Hallaj yang nampak bertentangan dengan aqidah Islam. Oleh karena itu, tasawuf pada abad ini cenderung mengadakan pembaharuan[2]. Pada masa ini pula, filsafat dan ilmu kalam berkembang dengan pesatnya, yang lambat laun ajaran tasawuf sudah mulai kemasukan filsafat. Dr. Ibrahim Hasan Ibrahim dalam bukunya Tarikhul Islam’ menerangkan bahwa tasawuf Islam berkembang dengan pesatnya di kalangan kaum muslimin, khususnya di kalangan orang-orang Persi yang masuk Islam. Dalam perkembangannya yang terakhir, tasawuf Islam telah bersatu dengan ajaran filsafat, sehingga menjadi satu model yang dinamakan Filsafat Tasawuf. Filsafat tasawuf merupakan perpaduan antara ajaran-ajaran Neo-Platonisme, dan di pihak lain dengan ajaran Persia dan India[3]. b. Tokoh-Tokoh Sufi Pada Abad Kelima Hijriyah Ada beberapa tokoh sufi besar pada masa ini, antara lain Abu Hamid al-Ghazali, Syaikh Ahmad Al-Rifa’i, Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, Syaikh Abu Hasan Al-Syadzili, Abu Al-Abbas Al-Mursi, dan Ibnu Atha’illah Al-Sakandari. Namun ulasan tentang tasawuf pada masa kelima Hijriyah ini lebih menitikberatkan pada konsep tasawuf Al-Ghazali. Sebab – menurut hemat kami -, Al-Ghazali adalah seorang sufi yang terkenal dan terbesar pada masa itu, dan memiliki konsep tasawuf yang paling jelas dan mencerminkan kondisi pada saat itu. Al-Ghazali, memiliki nama asli Abu Hamid Al-Ghazali, lahir di desa yang bernama Thus pada tahun 450 H/1057 M, dan meninggal pada tahun 505 H/1111 M. Al-Ghazali hidup pada zaman Nizamul Mulk, seorang menteri besar kerajaan Bani Saljuk. Sosok Al-Ghazali sebagai seorang pemikir yang besar telah mempererat kembali segala perselisihan dan pertikaian yang telah timbul, terutama antara para sufi dengan ulama fiqih. Sebelum Al-Ghazali, para ulama mutakallimin ilmu kalam telah mengambil beberapa cara berpikir kaum filsafat dalam menguatkan dasar ilmu kalam teologi. Filsafat yang dipelajarinya hanya semata-mata untuk menguatkan dasar-dasar ilmu kalam. Al-Ghazali memandang, cara pengambilan yang demikian itu sangat dangkal, sebab orang hanya tertarik dengan ujung-ujung filsafat, tetapi tidak menggali hingga sampai kepada uratnya. Padahal menurut Al-Ghazali, kalau sekiranya digali sampai ke uratnya, filsafat tidaklah memperkokoh pendirian ketuhanan, melainkan akan menggoyahkannya. Terkait tasawuf, corak pemikiran tasawuf yang dimiliki Al-Ghazali mengedepankan pada psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral. Hal ini dapat dilihat dalam karya-karyanya seperti Ihya Ulumuddin Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama, Bidayatul Hidayah Pengantar Tasawuf, Al-Munziqu Minad Dhalal Pelepasan Diri Dari Kesesatan, Tahafutil Falasifah Kacau Balaunya Filsafat, dan sebagainya. Al-Ghazali mengkritik pola tasawuf pada masa sebelumnya bisa jadi karena kemasukan paham filsafat karena dianggapnya mempunyai dua kelemahan. Pertama, kurang memperhatikan amal lahiriyah, hanya mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami dan mengemukakan kesatuan dengan tuhan. Kedua, keganjilan ungkapan yang tidak dipahami maknanya diucapkan dari hasil pemikiran yang kacau, hasil imaginasi sendiri. Selain kritikan tentang model orang-orang sufi sebelumnya, serta model berpikir para filsuf, Al-Ghazali memiliki sejumlah pemikiran yang masih berputar pada masalah kebatinan, secara garis besar antara lain 1 Terkait tasawuf dan filsafat Al-Ghazali tertarik kepada tasawuf karena menurutnya, yang ditekankan dalam tasawuf bukan semata-mata akal. Karena apabila hanya akal, maka yang ada hanyalah kebinasaan yang akan didapatinya. Artinya, dalam mempelajari filsafat, bukannya bertambah teguh imannya, malah menimbulkan keraguan. Oleh sebab itu kalau hanya mengandalkan akal, maka tidak akan dapat menemukan kebenaran, keadilan, kecintaan, dan keyakinan, sebab akal saja tidak dapat mencari nilai. Begitu pula tentang kesalahan yang didapat pada para ahli tasawuf seperti yang disebutkan sebelumnya, namun kesalahan ini masih dapat diperbaiki, asalkan ada dua perkara yang tidak boleh dipisah, yakni Ilmu dan Amal’. 2 Konsep Ma’rifat Ma’rifat menurut Al-Ghazali, bukan hanya didapat dengan akal. Ilmu yang sejati atau ma’rifat yang sebenarnya adalah mengenal Tuhan. Dari sini Al-Ghazali mengenalkan konsep Hadrat Rububiyah, yaitu wujud Tuhan meliputi segala wujud. Tidak ada wujud melainkan Allah dan perbuatan Allah. Allah dan perbuatan-Nya adalah dua, bukan satu. Pendapat Al-Ghazali ini menunjukkan pendiriannya yang berbeda dengan para sufi sebelumnya, seperti Al-Hallaj melalui paham Wihdatul Wujud-nya. 3 Tingkatan manusia Menurut Al-Ghazali, kecerdasan dan kesanggupan akal manusia itu tidaklah sama. Dalam dunia ini pasti ada orang awam dan orang khawash. Al-Ghazali memberi nasihat kepada orang awam yang belum sanggup berpikir seperti orang khawash untuk tidak perlu memasuki pada persoalan yang rumit dan dalam, yang justru akan menimbulkan keraguan dalam hatinya sendiri. Cukuplah bagi orang awam itu berpegang dengan Al-Qur’an dan Sunnah, tidak perlu banyak tanya, dan tidak perlu menta’wilkan dalil yang dalam pemahamannya. Tetapi orang yang sudah mencapai tingkat tinggi khawash, tidak lagi semata-mata berpegang pada kulit lahiriyahnya saja, tapi meningkat kepada yang lebih tinggi dari itu, yaitu ilmu yang lebih banyak dirasakan daripada dikatakan. Itu merupakan anugerah dari Allah, karena dia dapat menyaksikan yang haq yang diliputi Nur cahaya keyakinan. 4 Iman dan yakin Dari tingkatan manusia di atas, maka Al-Ghazali membagi iman dan yakin menjadi tiga tingkatan a Iman orang awam Orang awam itu mempercayai kabar berita yang dibawa oleh orang yang dipercayainya b Iman orang alim Orang alim itu orang yang mendapat kepercayaan dari jalan membanding, meneliti, dan memeriksa dengan segenap kekuatan akal dan mantiq-nya intelektualisme. c Iman orang arifin Orang arifin itu orang yang beriman dan tumbuh keyakinan setelah menyaksikan sendiri akan kebenaran itu tanpa adanya tabir/penghalang. 5 Bahagia Manusia memiliki sifat ingin tahu, karena manusia lahir di dunia ini berawal dari ketidaktahuan laa ta’lamuuna syai’an. Apabila manusia mengetahui suatu hal yang belum diketahui, maka terasa senang lah hatinya. Kesenangan itu ada dua lazaat kepuasan dan sa’adah kebahagiaan. Bila seseorang bertambah banyak yang diketahuinya, maka bertambah naiklah tingkat kepuasan dan bertambah dalam rasa kebahagiaan. Itulah sebabnya orang yang lebih luas pengetahuannya akan lebih berbahagia daripada orang yang kurang berpengetahuan. Dan puncak tertinggi dari rasa puas dan bahagia ialah ma’rifatullah mengenal Allah Swt Demikianlah pemikiran tasawuf Al-Ghazali, yang akhirnya membuka jalan baru bagi tasawuf Islam. Konsep tasawuf Al-Ghazali ini bahkan menjadi ilmu baru yang bukan hanya bagi umat Islam, namun juga orang-orang Nasrani pada abad-abad pertengahan. Al-Ghazali dalam tasawufnya juga berhasil menggabungkan rasa keindahan dan cinta, yang akhirnya menghasilkan seni yang hidup dalam Islam. Hal ini nampak pada seni arsitektur seperti pada menara masjid, kubah masjid, ukiran Al-Qur’an, pada syair-syair yang merdu dan mendalam dari para sufi abad-abad berikutnya, seperti Jalaluddin Rumi, dan lain-lain[4]. 4. Tasawuf Pada Abad Keenam dan Ketujuh Hijriyah a. Ciri-Ciri Perkembangan Tasawuf Pada Abad Keenam dan Ketujuh Hijriyah Pada abad VI Hijriyah, tampillah tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat, kompromi dalam pemakaian term-term filsafat yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf. Dr. Ibrahim Hasan Ibrahim dalam bukunya Tarikhul Islam’ menamainya sinkretisme filsafat dengan tasawuf. Sehingga dalam hal ini, perjalanan tasawuf masih sama seperti pada abad V Hijriyah. Ditambah lagi adanya akibat dari besarnya pengaruh Tasawuf Al-Ghazali yang berhasil mengkompromikan ilmu kebatinan dengan filsafat. Teorinya mengenai hakikat bukan semata-mata dengan akal, namun juga dengan perasaan. Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya menyimpulkan, bahwa tasawuf falsafi mempunyai empat obyek utama dan menurut Abu Al-Wafa bisa dijadikan karakter sufi falsafi, yaitu 1 Latihan rohaniah riyadhah dan perjuangan batin mujahadah dengan rasa, intuisi, serta instropeksi. 2 Illuminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib. 3 Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan. 4 Munculnya ungkapan-ungkapan baru atau istilah-istilah yang pengertiannya masih samar-samar, seperti kasyaf tirai penyingkap, tajalli Tuhan telah jelas dan nyata, wihdatul muthlaqah kesatuan yang mutlak, hulul penjelmaan Tuhan ke dalam hamba, dan ittihad persatuan antara hamba dengan tuhan[1]. b. Tokoh-Tokoh Sufi Pada Abad Keenam dan Ketujuh Hijriyah Ada beberapa tokoh sufi pada masa ini, antara lain Syihabuddin Abdul Futuh Al-Syuhrawardi, Muhyiddin Ibnu Arabi, Umar Ibnu Faridh, dan Abd Al-Haqqi ibn Sabi’in. Dari keempat tokoh sufi di atas, yang paling terkenal ialah Syihabuddin Abdul Futuh Al-Syuhrawardi dan Muhyiddin Ibnu Arabi. Beberapa tokoh sufi terkenal ini akan diulas secara garis besar berikut 1 Syihabuddin Abdul Futuh Al-Syuhrawardi Ia dikenal dengan nama lain Asy-Syaikh Al-Maqtul Syaikh yang mati terbunuh, dan memiliki gelar Al-Mu’ayyad bil Malakut’ mendapat sokongan dari alam malakut. Mula-mula ia belajar filsafat dan ushul fiqih kepada Syaikh Imam Majdudin Al-Jaili di Aleppo, dan banyak bergaul dan bertukar pikiran dengan para ulama disana. Lantaran pemikirannya yang sangat bebas, akhirnya timbul pertentangan dengan para ulama fiqih sehingga ia dituduh zindiq dan ilhad tidak bertuhan/keluar dari agama. Kemudian para ulama fiqih meminta kepada Sultan Salahuddin Al-Ayyubi Saladin yang terkenal untuk menangkapnya dan dijatuhi hukuman mati. Setelah mendengar desakan dari para ulama fiqih tersebut, maka Sultan mengutus anaknya, Malik Az-Zahir, untuk menanngkapnya dan memasukkannya ke dalam penjara. Setelah berada di penjara, Al-Syuhrawardi tidak mau makan dan minum sampai meninggal pada tahun 587 H/1191 M. Al-Syuhrawardi telah mempelajari filsafat kuno seperti filsafat India, Persia, dan Yunani. Setelah mendalami beberapa filsafat tersebut, maka ia berkesimpulan bahwa para filsuf adalah orang-orang dari satu keluarga. Seperti para filsuf dari Yunani, India, dan Persia, semuanya berjalan menuju satu maksud dan berlindung di bawah satu bendera, yakni filsafat Isyraq, yakni menuntut cahaya kebenaran dari cahayanya segala cahaya, yaitu Allah. Dalam kitabnya Hayakilun Nur’, ia menerangkan perlawanan antara Nur cahaya, merujuk pada rohani dengan zulumat kegelapan, merujuk pada benda. Berbagai kekuatan akal dinamai dengan Anwar banyak cahaya. Akal yang mengatur perjalanan falak dinamainya Anwarul Qahirah cahaya yang menguasai. Jiwa manusia dinamainya Anwarul Mujarradah cahaya yang semata-mata. Allah dinamainya Nurul Anwar cahaya dari segala cahaya. Jizim tubuh dinamainya Jauharul Muzlim benda yang gelap, sedangkan alam Ajzam dinamakan Barzakh. Dari sini, Al-Syuhrawardi berusaha menjelaskan dasar filsafat tasawuf yang dimilikinya, yakni Allah adalah cahaya dari segala cahaya dan sumber dari segala yang ada. Dari nur Allah akan melahirkan nur-nur yang lain, baik alam yang maddi nampak atau alam rohani. Dari kekuatan tersebut kemudian menggerakkan segala falak dan mengatur akan segala aturannya. Terkait penuntut hikmah, Al-Syuhrawardi membaginya menjadi tiga macam a Ahli Filsuf, yang hanya mempergunakan akal semata. b Ahli Tasawuf, yang ingin mencari Tuhan. c Ahli filsuf ketuhanan, yakni yang menggunakan akal dan mementingkan rasa untuk mencapai tujuan, yaitu Allah. Inilah yang paling tinggi nilainya[2]. 2 Muhyiddin Ibnu Arabi Nama lengkapnya Abu Bakar Muhyiddin Muhammad bin Arabi At-Thai Al-Haitami Al-Andalusi. Lahir di Mercia, Spanyol pada tahun 598 H/1102 M. Pada mulanya, Ibnu Arabi menuntut ilmu fiqih dalam mazhab Zahiri di Avilla, kemudian dilanjut dengan mencari ilmu kepada guru-guru yang sudah banyak terpengaruh oleh filsafat Neo-Platonisme yang sedang berkembang di Andalusia pada saat itu. Ia memiliki konsep filsafat tasawuf yang hampir sama dengan Al-Syuhrawardi, yaitu gabungan antara perasaan jiwa dengan renungan akal. Karyanya juga banyak, salah satunya ialah Al-Futuhat Al-Makiyah’, yang berisi pendirian dan buah renungan dari Ibnu Arabi. Perihal konsep tasawuf, Ibnu Arabi memiliki tiga ajaran pokok, yaitu a Wihdatul Wujud Pantheisme Bagi Ibnu Arabi, wujud itu hanya satu, wujud makhluk adalah wujud khalik Al-khaliq huwal makhluq, wal makhluq huwal khaliq. Tidak ada perbedaan di antara yang qadim eternal yang disebut Khalik dengan yang baru yang disebut makhluk. Perbedaan itu hanya rupa dan ragam dari hakikat yang satu, karena itu keduanya mempunyai sifat yang sama. Singkatnya bagi Ibnu Arabi, hamba itu Tuhan dan Tuhan itu hamba. b Al-Haqiqatul Muhammadiyah/Nur Muhammad Kalau Al-Hallaj adalah peletak dasar teori Nur Muhammad, maka Ibnu Arabi adalah seseorang yang memperluas dan mengembangkan teori tersebut. Bagi Ibnu Arabi, Allah itu adalah sesuatu dan satu. Dialah wujud yang mutlak. Maka nur cahaya Allah itu sebagian dari dirinya. Itulah hakikat Muhammadiyah. Maka Nur Muhammad itu juga bersifat qadim, sebagian dari sesuatu dan satu. Apabila Muhammad telah mati tubuhnya, namun Nur Muhammad atau hakikat Muhammadiyah itu tetaplah ada. Jadi, Allah – Adam – Muhammad adalah satu. c Wihdatul Adyan Kesatuan Agama Sama seperti Al-Hallaj, Ibnu Arabi berkata, “Model penyembahan yang bermacam-macam agama dengan secara khusus menurut agamanya saja, tidak diragukan lagi hal itu adalah kebodohan karena dianggap berpaling dari Tuhan yang disembah mereka. Adapun Tuhan yang mutlak tidak memberi lapangan tertentu pada sesuatu karena Dia sendiri adalah ain-nya sesuatu itu”. Dengan demikian menurut pandangan Ibnu Arabi, Tuhan itu bukan hanya terbatas pada Tuhannya orang Islam, tetapi juga meliputi Tuhannya setiap agama. Sebab pada hakikatnya, setiap yang disembah itu adalah Tuhan juga. Bila sebelumnya pertentangan antara ulama fiqih dengan kaum sufi berada pada puncaknya pada abad III Hijriyah melalui Al-Hallaj, maka dengan munculnya sosok Ibnu Arabi ini, pertentangan lama kembali bangkit dengan hebatnya. Terkait Al-Hallaj, kemungkinan besar masih dapat dimaafkan atau minimal dimaklumi adanya karena perkataan yang diucapkannya itu dalam keadaan sakar mabuk kepayang meski pada akhir hayatnya ia dihukum mati. Namun untuk Ibnu Arabi, yang dipandang sebagai seorang yang berilmu, berfilsafat, dan bertasawuf, maka para ulama fiqih tidak dapat membiarkannya begitu saja. Banyak para ulama besar yang menentang paham tasawuf milik Ibnu Arabi ini melalui fatwa-fatwanya, seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ibnu Khaldun, Ibnu Hajar Al-Aqshalani, Ibrahim Al-Biqa’i[3]. 5. Tasawuf di Tanah Persia Masuknya agama Islam di tanah Persia dengan sendirinya telah berjasa mengembangkan kebudayaan, kesenian, dan kesusastraan bangsa Persia. Begitu halnya dengan tasawuf, yang berkembang cepat dan menjadi bahan atau sendi yang tidak dapat dipisahkan lagi dari perkembangan seluruh tasawuf Islam. Boleh dikatakan bahwa setelah bahasa Arab, bahasa Persia juga berperan penting dan besar pengaruhnya dalam membantuk tasawuf dan filsafat Islam serta pandangan hidup mereka. Islam tumbuh dan memiliki corak ke-Persia-annya sejak abad ketiga Hijriyah. Dalam perkembangannya, filsafat dan tasawuf di Persia menggunakan dua bahasa, yakni bahasa Arab dan bahasa Pahlevi Persia. Pengaruh tasawuf di Persia ini cukup besar, dan berkembang hingga ke Turki, India, dan Afghanistan. Sampai sekarang yang kurang lebih tahun lebih kebudayaan Persia-Islam masih hidup dengan suburnya. Berkat perkembangan kebudayaan di Persia lah, banyak muncul para ulama besar, filsuf terkenal, serta para sastrawan, seperti Al-Ghazali, Ibnu Sina, serta ahli bahasa yang bernama Sibawaihi. Singkatnya, dalam perkembangan tasawuf, Persia telah memberikan jasa yang besar, bahkan ada yang mengatakan bahwa ilmu tasawuf belum mencapai tingkat kepuasan bila belum mendalami tasawuf dari Persia. Hubungan antara Islam-kebudayaan Persia yang terjalin erat di masa lalu akhirnya putus setelah Persia sekarang Iran mendeklarasikan dirinya menggunakan paham Syi’ah sebagai mazhab kerajaan/Negara. Padahal mayoritas umat Islam di dunia menganut paham Ahlus Sunnah. Namun sekali lagi, pengaruh tasawuf Persia amat besar dalam dunia Islam. Di Indonesia sendiri, pengaruh tasawuf Persia lebih dahulu datang daripada pengaruh tasawuf atau ajaran Islam dari tanah Arab. Thariqat yang terkenal di Indonesia, thariqat Naqsyabandiyah, adalah salah satu thariqat tasawuf yang berasal dari Persia. Kata Naqsyabandi’ sendiri berasal dari bahasa Persia. Kebanyakan ajaran-ajaran tasawuf di Persia ini dalam bentuk syair, yang berbeda dengan ajaran-ajaran tasawuf di tempat-tempat lain. Adapun para tokoh sufi dari Persia antara lain Abu Said 258 H/827 M – 440 H/1049 M, Jalaluddin Rumi 604 H/1217 M – 672 H/1273 M, Abdullah Al-Anshari 396 H/1066 M – 481 H, Majdudin Sinai w. 545 H/1221 M, Fariduddin Al-Athar, Hafiz Al-Syirazi, Abdurrahman Al-Jami. Abu Said 258 H/827 M – 440 H/1049 M adalah seorang sufi pertama dalam tasawuf Persia. Ia berasal dari Khurasan, dan mula-mula belajar Al-Qur’an dan bahasa Arab di kampungnya, kemudian pindah ke kota Marwa untuk mempelajari ilmu fiqih dengan seorang yang bernama Abu Abdullah dan Abu Bakar Al-Qaffal. Selanjutnya pindah ke kota Sarkhas untuk mendalami ilmu-ilmu lain seperti tafsir, hadits, dan ushul fiqih dengan Abu Ali Zahir bin Ahmad, dan terakhir ia kembali mempelajari sufi di bawah bimbingan Abu Fadhal. Terkait tasawuf, Abu Said selalu menggunakan dalil Al-Qur’an dan Hadits, dan juga syair-syair dalam ceramah-ceramahnya. Ia adalah seorang yang pertama mendirikan halaqah dzikir dengan cara menari-nari. Karena perbuatannya itulah, dia dilaporkan oleh ulama Naisabur kepada Sultan di Gaznah. Sultan juga mengundang para ulama dari mazhab Syafi’i dan Hanafi untuk mengevaluasi ajaran Abu Said, namun Abu Said terbebas dari hukuman. Tokoh sufi terkenal selanjutnya, Jalaluddin Rumi 604 H/1217 M – 672 H/1273 M, adalah seorang sufi besar sekaligus pujangga hebat di masanya. Ia memiliki nama lengkap maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Muhammad bin Husin Al-Khathbi Al-Bakri. Ia dilahirkan di Balkh Persia, dan pada usia empat tahun ia dibawa ayahnya ke Asia kecil Romawi. Itulah sebabnya identitasnya memakai nama Rumi’. Sama dengan Abu Said, ia memiliki paham Wihdatul Wujud. Di samping itu, ia memiliki teori Evolusi, persis teori yang dicetuskan oleh Charles Darwin. Hanya saja perbedaannya, Jalaluddin Rumi mengakui adanya Allah. Ia telah menulis kitab tasawuf yang bernama Matsnawi’, berupa kumpulan syair-syair yang terdiri dari bait syair. Kitab tersebut terdiri dari enam jilid, yang semuanya itu merupakan pendiriannya tentang tasawuf yang berdasarkan paham Wihdatul Wujud. Selain itu, paham-paham tasawuf Jalaluddin Rumi antara lain a. Alam dan Tuhan Jalaluddin Rumi memiliki teori Evolusi, yang menurutnya alam itu berevolusi. Asal mula sesuatu itu dari zarrah atom, kemudian meningkat menjadi tumbuh-tumbuhan, kemudian naik lagi menjadi hewan, lalu naik lagi menjadi manusia, lalu dari manusia naik menjadi malaikat, setelah itu kelak langsung fana’ ke dalam Allah, akhirnya menjadi baqa’. Kematian menurutnya hanya semata-mata perpindahan menuju suatu tingkat ke tingkat selanjutnya. Disinilah maka dapat diketahui paham Wihdatul Wujud-nya Jalaluddin Rumi, yakni apabila fana’ tercapai maka kekallah baqa’ alam itu dengan Tuhan. Atau singkatnya, mati itu hanya perpindahan bentuk alam menuju fana’ ke dalam Tuhan. b. Nyawa Kaum sufi termasuk Jalaluddin Rumi memahami bahwasanya nyawa/ruh ini datang dari alam lain ke dunia, dan terkurung dalam badan/jasmani di bumi. Nyawa yang terperangkap atau terpenjara di dalam jasad ini suatu saat akan kembali ke tempat asalnya QS. 89 27-28. c. Takdir dan Ikhtiar Pandangannya tentang takdir dan ikhtiar sangat berbeda dengan pendapat mayoritas ahli tasawuf lainnya, yang lebih mendekati paham Jabariyyah fatalisme. Menurut Jalaluddin Rumi, seseorang itu tidak boleh menyerah dan tunduk begitu saja dengan takdir itu. Hidup itu harus terus diperjuangkan. Manusia dihidupkan di dunia ini dengan penuh kebebasan. Dia mesti berusaha sendiri dengan mengisi kebahagiaan hidupnya dan memberi nilainya. Terkait kemunduran tasawuf di tanah Persia, suatu ketika berdirilah Kerajaan Safawi pada tahun 907 H/1502 M. kerajaan ini berhasil menyatukan seluruh negeri Persia di bawah satu pemerintahan besar yang bergelar Syahin Syah’ Sri Maharaja diraja. Ketika kerajaan dipimpin oleh Syah Ismail, ia menyatakan bahwa mazhab resmi kerajaan adalah Syi’ah. Ia sangat membenci hal-hal yang berbau Ahlus Sunnah. Sebagai dampaknya, ia juga membenci tasawuf. Ia menyarankan kepada semua ahli sufi ketika mengarang syair, hendaklah memasukkan segala hal yang menyangkut propaganda Syi’ah, seperti memuja-muja Husein. Meski begitu, kebencian Syi’ah terhadap para sufi yang begitu dalam membuat banyak ahli sufi yang dikejar-kejar. Banyak ulama Ahlus Sunnah dan ahli sufiyah yang disiksa dan dibunuh. Dari sinilah yang kemudian tasawuf di Persia semakin berkurang dan hilang[1]. 6. Tasawuf Pada Abad Kedelapan Hijriyah Masa Menurunnya Tasawuf Pada masa ini terlihat tanda-tanda keruntuhan tasawuf kian jelas, yang disebabkan seringnya terjadi penyelewengan dan pemikiran ganjil dalam diri kaum sufi dan sekaligus mengancam kehancuran reputasi baik ilmu tasawuf. Tasawuf pada waktu itu telah termasuki bid’ah, khurafat, mengabaikan syari’at, hukum-hukum moral, dan penghinaan terhadap ilmu pengetahuan, membentengkan diri dari dukungan awam untuk menghindarkan diri dari rasionalitas, azimat dan ramalan serta kekuatan gaib ditonjolkan. Ada masa ini, muncullah revivalis Islam, Syaikh Ibnu Taimiyah w. 727 H/1329 M, yang dengan lantang menyerang penyelewengan-penyelewengan para sufi tersebut. Dia dikenal kritis, peka terhadap lingkungan sosialnya, polemis dan berusaha meluruskan ajaran Islam yang telah diselewengkan para sufi tersebut. Ibnu Taimiyah melancarkan kritik terhadap ajaran Ittihad, Hullul, dan Wahdat Al–Wujud sebagai ajaran yang menuju kekufuran atheisme. Ibnu Taimiyah membagi fana’ menjadi tiga bagian fana’ ibadah, fana’ syuhud al-qalb, dan fana’ wujud ma siwa Allah. Terhadap fana’ pertama dan kedua, masih dalam batas kewajaran, baik ditinjau dari segi psikologis maupun agamis. Sedangkan fana’ ketiga dianggap menyeleweng dari ajaran Islam dan dianggap kufur. Ibnu Taimiyah cenderung bertasawuf sebagaimana yang pernah diajarkan Rasulullah Saw, yakni menghayati ajaran Islam, tanpa mengikuti aliran thariqah tertentu sebagaimana manusia pada umumnya. Tasawuf model ini yang cocok untuk dikembangkan di masa modern sekarang. Penyebab mundurnya tasawuf di dunia Islam pada abad ini antara lain a. Pada masa itu adalah masa suram-suramnya cahaya perasaan dan pemikiran karena ada rasa keputusasaan dalam dunia Islam. Hal ini dikarenakan Baghdad sebagai jantungnya ilmu pengetahuan telah dihancurkan oleh bangsa Mongol. Ditambah lagi kekuasaan Islam berpindah ke Asia Kecil Turki oleh Turki Utsmani. Sejak itulah pelita timur lambat laun redup. b. Bangsa Barat mengalami zaman Renaissance yang mendorong kemajuan bangsa Barat dalam mengambil alih peradaban dunia. c. Umat Islam hanya bertaklid dalam segala bidang ilmu, yaitu menurut saja kepada apa yang ditulis dan dijelaskan oleh orang-orang terdahulu. Tidak hanya tasawuf, kondisi taklid ini juga terjadi pada beberapa bidang ilmu, seperti ilmu fiqih, Al-Qur’an, hadits, dan teologi kalam. Lebih lanjut dengan semakin surutnya perkembangan tasawuf pada abad VIII Hijriyah ini, maka tidak ada lagi pemikiran baru dalam dunia tasawuf. Meski ada beberapa ahli sastrawan sufi seperti Al-Kassyani atau Al-Kisani w. 739 H/1321 M yang telah banyak menulis buku-buku tentang tasawuf, namun dia tidak mengeluarkan pendapat yang baru. Ada pula seorang sufi besar pada abad ini yang bernama Abdul Karim Al-Jaili, seorang pengarang kitab Insan Kamil’. Isi bukunya sempat membuat gempar para ulama fiqih, karena isinya memperindah konsep-konsep pikiran Ibnu Arabi, Jalaluddin Rumi, dan lain-lain. Di dalam abad kesepuluh Hijriyah, muncul kembali seorang sufi yang besar di Mesir, yaitu Abdul Wahab Sya’rani. Ia memiliki banyak karangan, namun sebagian besar isinya sulit diterima oleh rasa, harus memakai akal. Kemudian di abad keduabelas Hijriyah, muncul kembali seorang sufi yang bernama Abdul Ghani An-Nablusi w. 1143 H/1735 M, seorang pengikut Ibnu Arabi[1]. DAFTAR RUJUKAN Al-Barsany, Noer Iskandar. 2001. Tasawuf Tarekat Para Sufi Jakarta Raja Grafindo Persada. Hamka. 1980. Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta Yayasan Nurul Islam. Sjukur, Asjwadie. 1978. Ilmu Tasawuf 1. Surabaya Bina Ilmu. Syukur, Amin dan Masyharuddin. 2002. Intelektualisme Tasawuf. Yogyakarta Pustaka Pelajar CATATAN KAKI FOOTNOTE [1] Ibid, hlm. 188-193. [1] Ibid, hlm. 160-187. [1] Amin Syukur dan Masyharuddin, hlm. 25-28; dan Asjwadie Sjukur. hlm. 60. [2] Hamka, hlm. 140-143 [3] Ibid, hlm. 143-151. [1] Ibid, hlm. 55-56. [2] Amin Syukur dan Masyaruddin, hlm. 25-26. [3] Asjwadie Sjukur. hlm. 56. [4] Hamka, hlm. 123-136; dan Asjwadie Sjukur. hlm. 55-59. [1] Amin Syukur dan Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 21-23. [2] Lihat Asjwadie Sjukur, hlm. 42; dan Amin Syukur dan Masyaruddin, hlm. 24-25. [3] Hamka, hlm. 93-95. [4] Hamka, hlm. 96-97; dan Asjwadie Sjukur. hlm. 44-45. [5] Asjwadie Sjukur. hlm. 45-46. [6] Ibid, hlm. 49-55. [1] Ibid, hlm. 39-40. [2] Ibid, hlm. 40-41. [3] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya Jakarta Yayasan Nurul Islam, 1980, hlm. 78-79. [1] Asjwadie Sjukur, Ilmu Tasawuf 1 Surabaya Bina Ilmu, 1978, hlm. 32-35. [2] Ibid, hlm. 35-39. [1] Ibid. [1] Lihat Noer Iskandar Al-Barsany, Tasawuf Tarekat Para Sufi Jakarta Raja Grafindo Persada, 2001, hlm. 8-14. [2] Ibid.
Sejarah Perkembangan Tasawuf pengarang Ali Rif'an Indonesia 2020-11-11 120216Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TASAWUF DALAM TRADISI ISLAM Oleh Ali Rif’an A. PENDAHULUAN Tasawuf adalah nama lain dari mistisisme dalam Islam.[1] Di kalangan orientalis barat dikenal dengan sebutan sufisme, yang merupakan istilah khusus mistisime Islam. Sehingga kata sufisme tidak ada pada mistisisme agama-agama lain.[2] Tasawuf atau mistisisme dalam Islam ber-esensi pada hidup dan berkembang mulai dari bentuk hidup kezuhudan, dalam bentuk tasawuf amali, kemudian tasawuf falsafi. Barangkali sepanjang sejarahnya, dalam peradaban Islam, elemen „Tasawuf‟ adalah yang paling banyak disalahpahami dan paling sering memicu kontroversi. Secara garis besar ada dua pendapat tentang Tasawuf 1 para penentang, yg menuduh Tasawuf adalah sesat, bid‟ah, khurafat, berbau klenik takhayul, dan sinkretis serta tidak berasal dari tradisi Islam; 2 pendukung, yg menganggap Tasawuf adalah inti dari Islam. Perdebatan ini sudah terjadi sejak istilah „tasawuf‟ atau „sufi‟ muncul pertama kali dan sampai sekarang tetap tak terjadi titik temu, bahkan cenderung lebih „keras‟ benturannya. Secara umum, istilah tasawuf merujuk pada aspek keruhanian dan tazkiyatun nafs akhlak dalam ajaran Islam. Karena penekanannya pada aspek keruhanian, maka membicarakan tasawuf adalah seperti membicarakan samudera tanpa tepi, dan mustahil kita memberikan gambaran yang utuh tentang tasawuf dalam ribuan buku sekalipun. Karenanya tulisan ini dibatasi hanya pada aspek sejarah dan perkembangannya dalam tradisi Islam, sebagaimana telah dicatat dalam berbagai literatur yang penyusun temukan. B. PEMBAHASAN 1 Ta’rif Tasawuf dalam Tradisi Islam Membahas tasawuf, menurut Annemarie Schimmel merupakan tugas yang sangat sulit terlaksana secara komprehensif. Hal ini dikarenakan bahwa tasawuf itu sangat luas. Menjelaskan beberapa aspek tasawuf baik secara historis maupun fenomenologis, tetap tidak akan menghasilkan sesuatu yang utuh dan memuaskan semua pihak[3] . Mungkin itulah alasannya mengapa ada pembedaan antara tasawuf dan ilmu tasawuf. Tasawuf berarti kesadaran seorang hamba, adanya dialog dan komunikasi langsung dengan Tuhan. Dengan adanya kesadaran secara terus menerus itu, maka seseorang akan berlaku baik berakhlak terhadap Tuhan, diri sendiri, sesama manusia dan terhadap alam semesta[4] . Dalam tataran ini memperlihatkan hakikat tasawuf yang bersifat holistik mencakup ketaatan individual sekaligus sosial. Sedangkan ilmu tasawuf merupakan hasil atau produk sejarah, hasil dari ijtihad ulama sufi tentang bagaimana cara mendekatkan, berkomunikasi, dan berdialog dengan Tuhan.[5] Dalam konteks inilah, uraian ini akan mengelaborasi tasawuf dengan aksentuasi pada ilmu tasawuf yang dijadikan teori dalam pengamalan kaum sufi. Era Nabi maupun Khulafaurrasyidin istilah tasawuf atau sufi belum dikenal. Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad II hijriah, oleh Abu Hasyim al Kufy W. 150 H dengan meletakkan al-sufi di belakang namanya. Menurut Nicholson, sebelum Abu Hasyim memang telah ada kaum muslim yang mendahuluinya dalam zuhud, wara, tawakkal dan mahabbah, tetapi dialah orang yang pertama kali diberi nama al-Sufi.[6] Secara etimologis, ada beragam pendapat mengenai asal kata tasawuf. Masignon & M. Abd. El Razik menjelaskan bahwa tasawwuf merupakan bentuk masdar fiil khumasi yang terbentuk dari akar kata “shawwafa” yang menunjukan pada pakaian dari bahan shuuf bulu domba.[7] Sebagian ahli menyatakan bahwa istilah tasawuf dinisbahkan kepada Shuffah, karena amaliah ahli tasawuf sama dengan amaliah Ahlus Shuffah, sebagian sahabat Nabi yang miskin dan senantiasa beribadah mendekatkan diri kepada Allah. Dikaitkan dengan Shafa dan Shaf adalah karena kebersihan hati mereka, sehingga diharapkan mereka berada pada barisan shaf pertama di sisi Allah.[8] Dikatakan berasal dari Shufanah nama sebuah pohon di padang pasir, sebab kebanyakan mereka berbadan kurus kering, akibat banyak berpuasa dan banyak bangun malam, sehingga badannya menyerupai pohon tersebut. Sedangkan penyandaran pada kata shuf, karena mereka sering memakai pakaian bulu yang kasar dan sederhana.[9] Atau juga sebagaimana diungkapkan oleh beberapa penulis modern bahwa kata “sufi” berasal dari perkataan Yunani, shopos tetapi ini tidak memiliki dasar yang kuat yang bisa dipercaya.[10] Namun kebanyakan ahli menisbahkan pada kata Shuf, sebagai kata yang lebih tepat bagi asal-usul kata tasawuf.[11] Sementara secara terminologis pun, istilah tasawuf memiliki puspa ragam definisi. Dr. Abu Al-Ula Afifi[12] telah menguraikan kurang lebih enampuluh lima definisi tentang tasawuf. Menurut Afifi, dari definisi yang berjumlah enampuluh lima tersebut ia berharap bisa mencapai kesimpulan yang komprehensif tentang definisi tasawuf, ternyata ia hanya mendapatkan makna yang terdekat dari tasawauf. Kesulitan-kesulitan tersebut disebabkan definisi-definisi yang diutarakan masing-masing sufi sangat bersifat pribadi dan spesifik, sehingga ada banyak definisi sebanyak kaum sufi mendefinisikannya. Ma‟ruf Karkhi mengungkapkan tasawuf dengan berpihak pada hakikat-hakikat dan berputus asa dari segala hal yang ada pada makhluk Al-Akhdzu bil haqoiq wa alya‟su mimma fi aidil Kholaiq.[13] Demikian pula tokoh-tokoh sufi yang lain memaknai tasawuf dengan berbeda-beda. Sehingga, hakikat pengalaman tasawuf tidak dapat didefinisikan Sufism is undefinable, karena merupakan perasaan keagamaan yang amat personal dan intim personal intimate religious feeling. Sedangkan menurut Qusyairi pengertian tasawuf berbeda-beda karena setiap ungkapan selalu berhubungan dengan pengalamannya pribadi fa kullu ibarin bima waqoa lahu[14] . Ulasan Abdul Qadir Al-Jilani mengenai makna tasawuf diulas secara unik. Al-Jilani memaknai tasawuf dari kata tasawuf تصوف langsung yang berasal dari empat huruf yaitu Ta, Shad, Waw, dan Fa‟, yang masing-masing huruf tersebut memiliki makna tersendiri. Huruf Ta‟ berasal dari kata tawbah taubat yang terbagi dalam taubat zahir dan taubat batin.[15] Huruf Shad berasal dari kata shafa‟ kejernihan yang juga terdiri dari dua bagian yakni kejernihan hati dan kejernihan nurani. Jika kejernihan hati adalah membersihkan hati dari segala penyakit hati, maka kejernihan nurani adalah mengarahkan perhatian hanya kepada Allah semata. Huruf Waw berasal dari wilayah kewalian yang akan muncul dalam diri seorang sufi setelah kejernihan hati dan nurani.[16] Dan terakhir huruf Fa‟ yang bermakna fana‟ fillah peniadaan diri dalam Allah dari segala selain Allah. Jika sifat-sifat manusiawi telah tiada, maka yang ada adalah sifat-sifat Keesaan Transenden yang tidak meniada, tidak melenyap, dan tidak menghilang. Hamba yang mengalami fana‟ ini akan tetap bersama Tuhan Yang Maha Abadi dan keridhaan-Nya, dan hati hamba yang telah mengalaminya akan abadi bersama Rahasia Yang Maha Abadi dan Perhatian-Nya.[17] Kendati demikian, bukan berarti tasawuf tidak bisa didefinisikan sama sekali. Secara sederhana tasawuf merupakan kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung antara hamba dengan Tuhan. Tasawuf merupakan suatu sistem latihan dengan penuh kesungguhan untuk membersihkan, mempertinggi dan memperdalam nilai-nilai kerohanian dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, sehingga segala konsentrasi hanya tertuju kepada-Nya.[18] Ia lebih cenderung sebagai pengalaman hidup dal proses pencarian menuju kepada kesempurnaan hidup. Cara hidup ini telah diikuti individu-individu dengan berbagai watak dan karakter dengan berbagai pebdekatan yang berbeda.[19] 2 Embriologi Tasawuf Zuhud menurut para ahli sejarah tasawuf adalah fase yang mendahului tasawuf. Menurut Harun Nasution, statiun yang terpenting bagi seorang calon sufi ialah zuhud yaitu keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Sebelum menjadi sufi, seorang calon harus terlebih dahulu menjadi zahid. Sesudah menjadi zahid, barulah ia meningkat menjadi sufi. Dengan demikian tiap sufi ialah zahid, tetapi sebaliknya tidak setiap zahid merupakan sufi[20] . Secara etimologis, zuhud berarti raghaba „an syai‟in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah[21] . Berbicara tentang arti zuhud secara terminologis menurut Prof. Dr. Amin Syukur, tidak bisa dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai moral akhlak Islam dan gerakan protes.[22] Apabila tasawuf diartikan adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan suatu statiun maqam menuju tercapainya “perjumpaan” atau ma‟rifat kepada-Nya. Dalam posisi ini, zuhud berarti menghindar dari berkehendak terhadap hal – hal yang bersifat duniawi atau ma siwa Allah. Zuhud adalah “berpaling dari dunia dan menghadapkan diri untuk beribadah melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi kesenangannya dengan semedi khalwat, berkelana, puasa, mengurangi makan dan memperbanyak dzikir”[23] . Zuhud disini berupaya menjauhkan diri dari kelezatan dunia dan mengingkari kelezatan itu meskipun halal, dengan jalan berpuasa yang kadang – kadang pelaksanaannya melebihi apa yang ditentukan oleh agama. Semuanya itu dimaksudkan demi meraih keuntungan ahirat dan tercapainya tujuan tasawuf, yakni ridha, bertemu dan ma‟rifat Allah swt. Kedua, zuhud sebagai moral akhlak Islam, dan gerakan protes yaitu sikap hidup yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim dalam menatap dunia fana ini. Dunia dipandang sebagai sarana ibadah dan untuk meraih keridlaan Allah swt., bukan tujuan tujuan hidup, dan di sadari bahwa mencintai dunia akan membawa sifat – sifat mazmumah tercela. Keadaan seperti ini telah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya. Zuhud disini berarti tidak merasa bangga atas kemewahan dunia yang telah ada ditangan dan tidak merasa bersedih karena hilangnya kemewahan itu dari tangannya. Bagi Abu Wafa al-Taftazani, zuhud itu bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi, akan tetapi merupakan hikmah pemahaman yang membuat seseorang memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi itu. Mereka tetap bekerja dan berusaha, akan tetapi kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan kalbunya dan tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya[24] . Lebih lanjut at-Taftazani menjelaskan bahwa zuhud adalah tidak bersyaratkan kemiskinan. Bahkan terkadang seorang itu kaya, tapi disaat yang sama diapun zahid. Ustman bin Affan dan Abdurrahman ibn Auf adalah para hartawan, tapi keduanya adalah para zahid dengan harta yang mereka miliki. Zuhud menurut Nabi serta para sahabatnya, tidak berarti berpaling secara penuh dari hal-hal duniawi. Tetapi berarti sikap moderat atau jalan tengah dalam menghadapi segala sesuatu. Zuhud merupakan salah satu maqam yang sangat penting dalam tasawuf. Hal ini dapat dilihat dari pendapat ulama tasawuf yang senantiasa mencantumkan zuhud dalam pembahasan tentang maqamat, meskipun dengan sistematika yang berbeda – beda. AlGhazali menempatkan zuhud dalam sistematika al-taubah, al-sabr, al-faqr, al-zuhud, altawakkul, al-mahabbah, al-ma‟rifah dan al-ridla. Al-Tusi menempatkan zuhud dalam sistematika al-taubah,al-wara‟,al-zuhd, al-faqr,al-shabr,al-ridla,al-tawakkul, dan alma‟rifah[25] . Sedangkan al-Qusyairi menempatkan zuhud dalam urutan maqam altaubah,al-wara‟, al-zuhud, al-tawakkul dan al-ridla[26] . Benih – benih tasawuf sudah ada sejak dalam kehidupan Nabi SAW. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah dan pribadi Nabi Muhammad SAW. Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari –hari ia berkhalwat di gua Hira terutama pada bulan Ramadhan. Disana Nabi banyak berdzikir bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Pengasingan diri Nabi di gua Hira ini merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalwat. Sumber lain yang diacu oleh para sufi adalah kehidupan para sahabat Nabi yang berkaitan dengan keteduhan iman, ketaqwaan, kezuhudan dan budi pekerti luhur. Oleh sebab itu setiap orang yang meneliti kehidupan kerohanian dalam Islam tidak dapat mengabaikan kehidupan kerohanian para sahabat yang menumbuhkan kehidupan sufi di abad – abad sesudahnya. 3 Asal Usul dan Sumber Pijakan Tasawuf Pembicaraan mengenai asal-usul tasawuf merupakan persoalan yang sangat kompleks, sehingga tidak bisa dikemukakan jawaban serta merta sederhana terhadap pertanyaan tentang asal-usulnya. Ada beberapa orientalis yang mengkaji tasawuf mengatakan bahwa tasawuf bersumber dari luar Islam.[27] Thoulk menganggap tasawuf ditimba dari sumber Majusi; Dozy mengatakan tasawuf dikenal kaum muslim lewat orangorang Persia; Goldziher, Palqacios dan Nicholson menisbahkan tasawuf berasal dari Kristen; Horten dan Hartman berpendapat tasawuf diambil dari India Hindu-Budha, sementara yang lain mengungkapkan bahwa Yunani merupakan sumber tasawuf.[28] Walaupun demikian, banyak ilmuwan dan para pengamat tasawuf yang dengan tegas mengemukakan bahwa sumber-sumber tasawuf secara otentik berasal dari dalam Islam sendiri. Menurut Spencer Trimingham secara afirmatif menyatakan Sufism was a natural development within Islam the inner doctrine of Islam, the underlying mystery of the Qur‟an.,[29] Pendapat sebagian ilmuwan muslim kontemporer, seperti Seyyed Hassein Nasr menjelaskan bahwa kehidupan spiritual kaum Sufi berawal dari Nabi, jiwa Nabi disinari cahaya Allah, Al-Quran, sehingga tepat sekali bila dikatakan bahwa wahyu Al-Quran sebagai sumber tasawuf[30] . Bahkan Lynn Wilcox, seorang Mursyid Sufi sekaligus guru besar psikologi abad ini pada California state University Amerika, dengan mengutip pendapat Bayazid Bistami, secara ekspresif ilustratif menyatakan bahwa benih tasawuf sudah ditanam pada masa Nabi Adam. Benih-benih ini berkecambah semasa Nabi Nuh dan berbunga semasa Nabi Ibrahim. Anggurpun berbentuk pada masa Nabi Musa dan buahnya matang pada masa Nabi Isa. Di masa Muhammad, semua itu dibuat menjadi anggur murni.[31] Harun Nasution mencatat ada lima pendapat tentang asal – usul zuhud. Pertama, dipengaruhi oleh cara hidup rahib-rahib Kristen. Kedua, dipengaruhi oleh Phytagoras yang megharuskan meninggalkan kehidupan materi dalam rangka membersihkan roh. Ajaran meninggalkan dunia dan berkontemplasi inilah yang mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam Islam. Ketiga, dipengaruhi oleh ajaran Plotinus yang menyatakan bahwa dalam rangka penyucian roh yang telah kotor, sehingga bisa menyatu dengan Tuhan harus meninggalkan dunia. Keempat, pengaruh Budha dengan faham nirwananya bahwa untuk mencapainya orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Kelima, pengaruh ajaran Hindu yang juga mendorong manusia meninggalkan dunia dan mendekatkan diri kepada Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahman.[32] Sementara itu Abu al‟ala Afifi mencatat empat pendapat para peneliti tentang faktor atau asal –usul zuhud. Pertama, berasal dari atau dipengaruhi oleh India dan Persia. Kedua, berasal dari atau dipengaruhi oleh askestisme Nasrani. Ketiga, berasal atau dipengaruhi oleh berbagai sumber yang berbeda- beda kemudian menjelma menjadi satu ajaran. Keempat, berasal dari ajaran Islam. Untuk faktor yang keempat tersebut Afifi memerinci lebih jauh menjadi tiga Pertama, faktor ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam kedua sumbernya, al-Qur‟an dan al-Sunnah. Kedua sumber ini mendorong untukhidup wara‟, taqwa dan zuhud. Kedua, reaksi rohaniah kaum muslimin terhadap system sosial politik dan ekonomi di kalangan Islam sendiri,yaitu ketika Islam telah tersebar keberbagai negara yang sudah barang tentu membawa konskuensi – konskuensi tertentu, seperti terbukanya kemungkinan diperolehnya kemakmuran di satu pihak dan terjadinya pertikaian politik interen umat Islam yang menyebabkan perang saudara antara Ali ibn Abi Thalib dengan Mu‟awiyah, yang bermula dari al-fitnah al-kubra yang menimpa khalifah ketiga, UstmanibnAffan 35 H/655 M. Dengan adanya fenomena sosial politik seperti itu ada sebagian masyarakat dan ulamanya tidak ingin terlibat dalam kemewahan dunia dan mempunyai sikap tidak mau tahu terhadap pergolakan yang ada,mereka mengasingkan diri agar tidak terlibat dalam pertikaian tersebut. Dan ketiga, reaksi terhadap fiqih dan ilmu kalam, sebab keduanya tidak bisa memuaskan dalam pengamalan agama Islam. Menurut at-Taftazani, pendapat Afifi yang terakhir ini perlu diteliti lebih jauh, zuhud bisa dikatakan bukan reaksi terhadap fiqih dan ilmu kalam, karena timbulnya gerakan keilmuan dalam Islam, seperti ilmu fiqih dan ilmu kalam dan sebaginya muncul setelah praktek zuhud maupun gerakan zuhud. Pembahasan ilmu kalam secara sistematis timbul setelah lahirnya mu‟tazilah kalamiyyah pada permulaan abad II Hijriyyah, lebih akhir lagi ilmu fiqih, yakni setelah tampilnya imam-imam madzhab, sementara zuhud dan gerakannya telah lama tersebar luas didunia Islam.[33] Kendati demikian, sebagian ilmuwan muslim mengakui sejujurnya bahwa tasawuf dipengaruhi pula oleh agama dan budaya lain. Dasar dan sumber fundamental tasawuf memang Al-Quran, Sunnah Nabi, kehidupan para sahabat dan tabi‟in, namun tanpa mengingkari fakta historis, wacana-wacana tasawuf dalam perkembangan selanjutnya telah diwarnai unsur-unsur luar. Terutama tasawuf falsafi, yang merupakan pengaruh Persia Yunani yang rasional dan filsafat India yang mistis.[34] Bagaimanapun juga tidak dapat dipungkiri, dalam perjalanan selanjutnya sekitar abad ke enam dan tujuh Hijriyah, wacana-wacana tasawuf banyak yang bernuansa filosofis atau tasawuf-falsafi yang diprakarsai oleh Suhrawardi w. 587 H, Ibn Arabi w. 638 H, Ibn Faridh w. 632 H, dan lain-lain. Pada fase ini, konsep-konsep tasawuf berkembang dan diwarnai unsur-unsur diluar Islam, khususnya filsafat Yunani, sekalipun pijakan fundamental para sufi adalah Al-Quran dan Sunnah.[35] Menurut hemat penulis, zuhud sebagai embrio dari tasawuf itu meskipun ada kesamaan antara praktek tasawuf dengan berbagai ajaran filsafat dan agama sebelum Islam, namun ada atau tidaknya ajaran filsafat maupun agama itu, Tasawuf tetap ada dalam Islam. Banyak dijumpai ayat al-Qur‟an maupun hadits yang bernada merendahkan nilai dunia, sebaliknya banyak dijumpai nash agama yang memberi motivasi beramal demi memperoleh pahala akhirat dan terselamatkan dari siksa api neraka 19, 4,QS. Al-Nazi‟aat 37 – 40. 4 Tahap Perkembangan Tasawuf a Tasawuf Abad Pertama dan Kedua Hijriyah Menurut para ahli sejarah tasawuf, zuhud atau asketisime merupakan fase yang mendahului lahirnya tasawuf pada abad pertama dan kedua Hijriyah. Dalam Islam, asketisisme mempunyai pengertian khusus. Asketisisme bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi, melainkan hikmah pemahaman yang membuat para penganutnya mempunyai pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi, di mana mereka tetap bekerja dan berusaha, namun kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan kalbu mereka, serta tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya.[36] Istilah yang populer digunakan pada masa awal tersebut adalah nussaak, zuhhaad dan „ubbaad.[37] Nussaak merupakan bentuk jamak dari nasik, yang berarti orang-orang yang telah menyediakan dirinya untuk mengerjakan ibadah kepada Tuhan. Zuhhaad adalah bentuk plural dari zahid, yang berarti “tidak ingin” kepada dunia, kemegahan, harta benda dan pangkat. Sedangkan „ubbaad merupakan bentuk jamak dari abid yakni orang-orang yang telah mengabdikan dirinya semata-mata kepada Tuhan. Para ahli berbeda pendapat mengenai faktor-faktor yang menyebabkan munculnya gerakan asketisisme dalam Islam. Nicholson berpandangan bahwa asketisisme dalam Islam bersumber dari gerakan Islam itu sendiri, bahkan hasil nyata dari ide Islam tentang Allah, walaupun ada dampak pengaruh agama Masehi Kristen. Sedangkan Ignaz Goldziher melihatnya melalui dua perspektif. Pertama, asketisisme yang mendekati semangat Islam dan Ahlus Sunnah, sekalipun terkena pula dampak asketisisme Masehi. Kedua, tasawuf dalam pengertiannya yang luas yang berkaitan dengan pengenalan terhadap Allah ma‟rifah, keadaan ruhaniah hal, dan rasa dzauq. Menurutnya yang kedua ini terkena dampak Neo-Platonisme dan ajaran-ajaran Budha ataupun Hindu. Dengan demikian, kedua orientalis di atas menganggap asketisisme dalam Islam muncul dikarenakan dua faktor utama, yaitu Islam itu sendiri dan kependetaan Nasrani, sekalipun keduanya berbeda pendapat tentang sejauh mana dampak faktor yang terakhir[38] . Sementara itu, Abu al-Ala Afifi berpendapat bahwa ada empat faktor yang mengembangkan asketisisme dalam Islam.[39] Pertama, ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Kitab suci Al-Quran sendiri telah mendorong manusia agar hidup saleh, takwa kepada Allah, menghindari dunia beserta hiasannya, memandang rendah hal-hal yang duniawi, dan memandang tinggi kehidupan di akhirat. Selain itu Al-Quran juga menyeru manusia agar beribadah, bertingkah laku baik, salat malam, salat tahajud, berpuasa dan lain-lain. Kedua, revolusi ruhaniah kaum Muslim terhadap sistem sosio-politik yang berlaku. Ketiga, karena dampak asketisisme Masehi. Di zaman pra-Islam, menurutnya, bangsa Arab terkena dampak para pendeta Masehi. Dampaknya terhadap para asketis Muslim, setelah timbulnya Islam, masih tetap berlangsung. Namun dampak asketisisme Masehi itu lebih banyak terhadap organisasionalnya ketimbang terhadap aspek prinsipprinsip umumnya. Keempat, penentangan terhadap fikih dan kalam. Sebagian kaum Muslim yang saleh pada masa itu merasa bahwa pemahaman para fuqaha dan ahli kalam tentang Islam tidak dapat sepenuhnya memuaskan perasaan keagamaan mereka. Sehingga mereka pun mengarah pada tasawuf untuk memenuhi kehausan perasaan keagamaan mereka. Sedangkan Abu al-Wafa‟ al-Taftazani sendiri, melihatnya secara global dari dua aspek.[40] Pertama, faktor Al-Quran dan Sunnah. Faktor pertama dan utama yang mengembangkan asketisisme dalam Islam adalah ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah yang berkaitan dengan uraian tentang ketidakartian dunia maupun hiasannya, dan perlunya berusaha secara sungguh-sungguh demi akhirat, untuk memperoleh pahala surga ataupun selamat dari azab neraka. Bagi Taftazani, ada banyak ayat tentang kefanaan dunia, serta hamba-hamba Allah yang selalu membersihkan diri.[41] Kedua, kondisi sosio-politik. Konflik politik yang terjadi sejak akhir masa Khalifah Utsman bin Affan mempunyai dampak terhadap kehidupan religius, sosial dan politik kaum Muslim. Puncaknya adalah pada zaman dinasti Umayyah yang banyak terjadi kelaliman dan penindasan sehingga banyak orang cenderung pada asketisisme. Kekuasan Bani Umayyah yang juga hidup dalam kemewahan duniawi mengundang reaksi kaum asketisisme yang menginginkan kesederhanaan hidup dan tercipta kesetaraan hidup umat Islam. Kaum asketisisme pertama ini melihat para Khalifah Umayyah bertingkah laku sama sekali bertentangan dengan kesalehan dan kesederhanaan empat Khalifah yang pertama. Para Khalifah, keluarga dan para pembesar istana hidup dalam kemewahan sebagai akibat dari kekayaan yang diperoleh setelah Islam meluas ke Syria, Mesir, Mesopotamia, dan Persia. Muawiyah telah hidup sebagai raja-raja Roma dan Persia dalam kemewahannya. Di antara Khalifah Bani Umayyah, hanya Khalifah Umar Abdul Aziz 717-720M. yang dikenal sebagai Khalifah yang mempunyai sifat takwa dan patuh kepada ajaran-ajaran Islam dan sederhana hidupnya.[42] Khalifah lainnya hidup dalam kemewahan. Khalifah-khalifah Bani Abbas juga demikian, selalu dipenuhi dengan keglamoran hidup dan pertikaian. Melihat fakta-fakta tersebut, orang-orang yang tidak mau terlena dalam hidup kemewahan dan ingin mempertahankan hidup sederhana, menjauhkan diri dari kemewahan dunia tersebut.[43] Bahkan di antara sebagian sahabat ada juga melakukan protes secara keras, seperti Abu Dzar al-Ghiffari dan Said Ibnu Zubair, sehingga menimbulkan gejolak pada Bani Umayyah.[44] Era abad pertama dan kedua Hijriyah tersebut sudah banyak para tokoh zahid, baik dari kalangan sahabat maupun generasi tabi‟in. Berikut ini merupakan tokohtokohnya menurut tempat perkembangannya. Para zahid yang tinggal di Madinah dari kalangan sahabat, seperti Abu Ubaidah al-Jarrah Abu Dzar Al-Ghiffari w 22H, Salman Al-Farisi w 32 H, dan Abdullah ibn Mas‟ud w 33 H. Sedangkan dari kalangan tabi‟in, termasuk di antaranya adalah Said ibn Musayyab w 91 H dan Salim ibn Abdullah w 106 H. Tokoh-tokoh zahid dari Basrah adalah Hasan Al-Bashri w 110 H, Malik ibn Dinar w 131 H, Fadl Al-Raqqasyi, Kahmas ibn Al-Hadan Al-Qais w 149 H, Shalih Al-Murri dan Abdul Wahid ibn Zaid w 171 H dari Abadan. Tokoh-tokoh aliran Kufah adalah Al-Rabi ibn Khasim w 67 H, Said ibn Jubair w 96 H, Thawus ibn Kisan w 106 H, Sufyan Al-Tsauri w 161 H, Al-Laits ibn Said w 175 H, Sufyan ibn Uyainah w 198 H, dan lain-lain. Sedangkan tokoh-tokoh yang berasal dari Mesir antara lain, adalah Salim Ibn Attar Al-Tajibi w 75 H, Abdurrahman Al-Hujairah w 83 H, Nafi‟ hamba sahaya Abdullah ibn Umar w 117 H, Hayah ibn Syuraih w 158 H, dan Abu Abdullah ibn Wahhab ibn Muslim Al-Mishri w 197 H. Pada masa terakhir tahap ini juga muncul tokoh-tokoh, seperti Ibrahim ibn Adham w 161 H, Fudhail ibn Iyadh w 187 H, Dawud Al-Tha‟i w 165 H, dan Rabi‟ah Al-Adawiyyah[45] . Menurut Abu al-Wafa‟, aliran asketisisme abad pertama dan kedua hijriyah dapat disimpulkan dengan beberapa karakteristik berikut. Pertama, asketisisme ini berdasarkan ide menjauhi hal-hal duniawi, demi meraih pahala akhirat, dan memelihara dari azab neraka. Ide ini berakar pada ajaran-ajaran Al-Quran dan Sunnah, dan terkena dampak berbagai kondisi sosio-politik yang berkembang dalam masyarakat Islam ketika itu. Kedua, asketisisme ini bercorak praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian untuk menyusun prinsip-prinsip teoretis atas asketisismenya tersebut. Saranasarana praktisnya merupakan hidup dalam ketenangan dan kesederhanaan secara penuh, sedikit makan maupun minum, banyak beribadah dan mengingat Allah, berlebih-lebih dalam merasa berdosa, tunduk mutlak pada kehendak Allah, dan berserah diri kepadaNya. Dengan begitu, asketisisme ini mengarah pada tujuan moral. Ketiga, motivasi asketisisme ini adalah rasa takut khouf, yakni rasa yang muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh-sungguh. Sementara pada akhir abad kedua Hijriyah, di tangan Rabi‟ah al-Adawiyyah, muncul motivasi cinta kepada Allah mahabatullah, yang bebas dari rasa takut terhadap azab-Nya maupun rasa harap terhadap pahala-Nya. Hal ini mencerminkan penyucian diri dan abstraksi dalam hubungan antara manusia dengan Allah. Keempat, asketisisme sebagian asketis yang terakhir, khususnya di Khurasan, dan pada Rabia‟ah al-Adawiyyah ditandai kedalaman membuat analisa, yang bisa dipandang sebagai pendahuluan tasawuf. Kelompok ini sekalipun dekat dengan tasawuf, tidak dipandang sebagai para sufi dalam pengertiannya yang terinci. Mereka lebih tepat dipandang sebagai cikal bakal para sufi abad-abad ketiga dan keempat Hijriyah.[46] b Tasawuf Abad Ketiga dan Keempat Hijriyah Walaupun sulit menentukan secara tepat kapan peralihan waktu antara gerakan asketisisme dan tasawuf dalam Islam, namun pada permulaan abad ketiga Hijriyah sudah terlihat adanya peralihan dari asketisisme menuju tasawuf. Para asketis pada masa ketiga Hijriyah tidak lagi dikenal dengan gelar tersebut, tapi mereka lebih dikenal dengan sebutan sufi. Istilah-istilah lain yang sebelumnya lebih populer, seperti zuhhaad dan nussaak, secara perlahan-lahan digantikan oleh istilah sufi yang menjadi sangat terkenal.[47] Para sufi pada era tersebut mulai cenderung memperbincangkan konsep-konsep yang sebelumnya justru tidak dikenal, semacam tentang moral, jiwa, tingkah laku, pembatasan arah yang harus ditempuh seorang penempuh jalan menuju Allah, yang dikenal dengan istilah tingkatan maqam serta keadaan hal, ma‟rifat dan metodemetodenya, tauhid, fana, penyatuan atau hulul. Selain itu mereka menyusun prinsiprinsip teoretis dari semua konsep tersebut. Bahkan mereka menyusun aturan-aturan praktis bagi tarekat mereka dan mempunyai bahasa simbolis khusus yang hanya dikenal dalam kalangan mereka sendiri, yang asing bagi kalangan luar.[48] Sejak saat itu muncul karya-karya tentang tasawuf, dengan para pengarang seperti Al-Muhasibi w. 243 H, Al-Kharraz w. 277 H, Al-Hakim Al-Tirmidzi w. 285 H, dan Al-Junaid w. 297 H. Sehingga dapat dikatakan bahwa abad ketiga Hijriyah merupakan mulai tersusunnya ilmu tasawuf dalam arti yang luas48. Sejak abad ketiga Hijriyah, dari segi objek, metode, dan tujuannya tasawuf menjadi terpisah dari ilmu fikih. Ibn Khaldun menguraikan bahwa ilmu agama menjadi dua bagian yang satu berkaitan denga fuqaha dan para pemberi fatwa, yaitu mengenai hukum-hukum ibadah yang umum, adat istiadat atau pun niaga. Satunya lagi berkaitan dengan kelompok sufi yang melakukan latihan ruhaniah, introspeksi diri, memperbincangkan rasa dan intuisi yang ditempuh dalam perjalanannya, dan cara peningkatan diri dari satu rasa ke rasa yang lain, atau menerapkan terminologiterminologi yang berkaitan dengan hal itu semua.[49] Sejak masa itu dan masa-masa selanjutnya, para sufi mulai mengemukakan terminologi-terminologi khusus tentang ilmu mereka. Maka terkenal pulalah ilmu mereka sebagai ilmu batin, ilmu hakikat, ilmu wiratsah dan ilmu dirayah. Semua istilah tersebut merupakan kebalikan dari ilmu lahir, ilmu syariah, ilmu dirasah, dan ilmu riwayah.[50] Pembagian Al-Thusi di atas memperlihatkan dengan jelas bahwa para Sufi, dalam menyebut ilmunya dengan dirayah, ilmu batin ataupun sebutan lain yang serupa, justru membedakan adanya dua ilmu ilmu teoretis yang berkaitan dengan hukum, serta ilmu yang membahas cara-cara merealisasikan hukum-hukum tersebut, baik dalam kalbu ataupun dalam tingkah laku. Yang pertama adalah fikih atau lahir, sementara yang kedua adalah tasawuf atau batin. Selanjutnya menurut Abu Al-Wafa‟, pada abad-abad ini ada dua macam aliran tasawuf[51] . Pertama, aliran para sufi yang pendapat-pendapatnya moderat. Tasawufnya selalu merujuk kepada Al-Qur‟an dan Sunnah. Dengan kata lain, tasawuf aliran ini selalu mengikuti pertimbangan syari‟ah. Sebagian sufinya adalah ulama terkenal dan tasawufnya didominasi ciri-ciri moral. Kedua, aliran para sufi yang terpesona keadaankeadaan fana. Mereka ini sering mengucapkan kata-kata ganjil, yang terkenal sebagai syathahat. Di antara tokohnya adalah Al-Hallaj dan Abu Yazid Al-Busthami.[52] Kendati demikian, secara global pada periode abad ini setidaknya ada lima karakteristik kedua jenis tasawuf tersebut.[53] Pertama, peningkatan moral. Pada dasarnya, pada abad ketiga dan keempat Hijriyah, tasawuf adalah ilmu tentang moral agama. Sebab, aspek moral tasawuf pada masa itu berkaitan erat dengan pembahasan jiwa, klasifikasinya, uraian kelemahannya, penyakitnya, ataupun jalan keluarnya. Karenanya dapat dikatakan bahwa tasawuf pada masa tersebut ditandai ciri-ciri psikologis, di samping ciri-ciri moral. Semua sufi abad ketiga dan keempat Hijriyah menaruh perhatian terhadap pembahasan moral maupun hal-hal yang berkaitan dengannya, seperti latihan jiwa, taubat, kesabaran, ridha, tawakkal, takwa, rasa takut, rasa heran, cinta, ingat Allah, jiwa dan penyakit-penyakitnya, dan tingkah laku maupun etika serta fase-fasenya. Karyakarya biografi mereka penuh dengan pendapat-pendapat mereka tentang hal itu semua. Barangkali, dalam kalangan para sufi yang pertama kali membahas masalah tersebut secara mendalam adalah Al-Harits ibn Asad Al-Muhasibi. Ia adalah salah seorang sufi yang mengkompromikan ilmu syariat dengan ilmu hakikat. Ia mengarang banyak buku yang berhubungan dengan persoalan jiwa dan permasalahannya. Salah satunya yang cukup terkenal, yaitu „Adabun Nufus yang menguraikan perawatan jiwa dan kalbu, akhlak-akhlak jiwa, evaluasi diri, jenjang-jenjang amal, hawa nafsu, kelengahan dan kewaspadaan serta konsep-konsep lain yang berhubungan dengan peningkatan moral dan spiritual.[54] Kedua, pengetahuan intuitif secara langsung atau disebut ma‟rifat. Ini merupakan prinsip epistemologis yang membedakan tasawuf dengan filsafat. Apabila dengan filsafat, yang dalam memahami realitas seseorang menggunakan metode-metode intelektual, maka dia disebut seorang filosof. Sedangkan kalau dia menggunakan metode intuisi atau ma‟rifat, maka dalam kondisi demikian dia disebut sebagai seorang sufi atau mistikus dalam pengertiannya yang lengkap.[55] Tokoh yang mula-mula membahas persoalan ma‟rifat adalah Ma‟ruf Al-Karkhi, yang diikuti oleh Abu Sulaiman Al-Darani, dan yang paling terkenal yaitu Dzun Nun AlMishri. Namun lagi-lagi, adalah Al-Muhasibi yang secara spesifik menulis sebuah buku kecil yang cukup terkenal tentang ma‟rifah yaitu Syarh al-Ma‟rifah wa Badzl alNashihah.[56] Secara garis besar, Al-Muhasibi membahas empat pilar utama ma‟rifat yaitu 1 ma‟rifat kepada Allah; 2 mengenal iblis sebagai musuh Allah; 3 mengenal nafs; dan 4 mengenal amal yang dilakukan karena Allah semata. Ketiga, pemenuhan fana sirna dalam realitas mutlak. Yang dimaksud fana ialah bahwa dengan latihan-latihan fisik dan psikis yang ditempuhnya, akhirnya seorang sufi sampai pada kondisi tertentu, di mana dia tidak lagi merasakan adanya diri atau pun keakuannya. Fana juga bisa didefinisikan sebagai ketiadaan diri di dalam Allah, yakni menjadikan sifat-sifat baik Allah, bukan Eksistensi, sebagai ganti sifat-sifat manusiawi yang rendah.[57] Keempat, ketenteraman atau kebahagiaan. Ini merupakan karakteristik khusus pada semua bentuk tasawuf. Sebab, tasawuf diniatkan sebagai petunjuk atau pengendali berbagai dorongan hawa nafsu, serta pembangkit keseimbanagn psikis pada diri seorang sufi. Dengan sendirinya, tujuan tersebut akan membuat sang sufi terlepas dari semua rasa takut dan merasakan ketenteraman jiwa dan kebahagiaan dirinya pun terwujudkan.[58] Kelima, pemakaian simbol-simbol dalam mengungkapkan hakikat realitas-realitas tasawuf. Yang dimaksud dengan simbol di sini adalah ungkapan-ungkapan yang dipergunakan sufi biasanya mengandung dua pengertian; 1 pengertian yang terdapat pada kata-kata tekstual. 2 pengertian yang digali dengan analisis dan pendalaman. Pengertian yang kedua ini hampir sepenuhnya tertutup bagi yang bukan sufi dan sulit untuk dapat memahami maksud tujuan mereka. Sebab, tasawuf merupakan kondisikondisi efektif yang khusus, yang mustahil dapat diungkapkan dengan kata-kata. Terlebih lagi, kondisi itu tidak sama pada setiap tokoh sufi. Setiap sufi punya cara tersendiri dalam mengungkapkan kondisi-kondisi yang mereka alami. Dengan demikian, tasawuf merupakan pengalaman yang subjektif. c Tasawuf Abad kelima Hijriyah Aliran tasawuf moderat atau sunni terus tumbuh dan berkembangpada abad kelima Hijriyah. Sementara aliran kedua yang bercorak semi-filosofis, yang cenderung dengan ungkapan-ungkapan ganjil serta bertolak dari keadaan fana, mulai tenggelam dan kelak akan muncul kembali dalam bentuk lain pada pribadi-pribadi sufi yang juga filosof pada abad keenam Hijriyah dan setelahnya. Tenggelamnya aliran kedua pada abad kelima Hijriyah, pada dasarnya disebabkan oleh berjayanya aliran teologi Ahlus Sunnah wal Jama‟ah melalui keunggulan Abu AlHasan Al-Asy‟ari atas aliran-aliran lainnya. Tasawuf pada era ini cenderung melakukan pembaruan dengan mengembalikannya ke landasan Al-Quran dan Sunnah. Di antara tokoh-tokohnya yang sangat terkenal yaitu Al-Qusyairi, Al-Hawari dan Al-Ghazali. Di sini akan dibahas pandangan atau kritik mereka terhadap penyimpangan tasawuf.[59] Abu Al-Qasim Al-Qusyairi merupakan tokoh yang sangat terkenal pada abad kelima Hijriyah terutama karena karya monumentalnya, al-Risalah al-Qusyairiyyah, yang sangat berpedoman pada Al-Quran dan Sunnah. Di awal mukadimahnya, Qusyairi melukiskan bahwa saat itu sudah amat langka para sufi sejati. Karena itu, Qusyairi memulai kitabnya dengan menguraikan prinsip-prinsip tauhid, seperti ma‟rifatullah, sifat-sifat, keimanan dan lainnya. Selanjutnya ia menguraikan konsep-konsep tasawuf, maqamt wal ahwal, kondisi ruhaniah dan karamah para wali, serta diakhiri dengan biografi singkat mengenai para tokoh sufi ternama. Menurut Qusyairi, antara syariat dan hakikat tidak bisa dipisahkan. Syariat merupakan disiplin ubudiyah, sedangkan hakikat adalah musyahadah ketuhanan. Setiap syariat yang tidak dikukuhkan dengan hakikat, tidak bisa diterima. Sebaliknya setiap hakikat yang tidak dikukuhkan syariat, tidak akan tercapai. Syari‟at berarti menyembahNya, sedang hakikat berarti seorang hamba menyaksikan-Nya.[60] Begitu pula eksposisinya mengenai tahap-tahap perjalanan sufistik menuju Tuhan, terlihat sangat sistematis. Dalam perspektif Qusyairi, seorang hamba tidak akan bisa menaiki satu maqam ke maqam lainnya sebelum terpenuhi hukum-hukum maqam tersebut. Siapa yang belum sepenuhnya qana‟ah, belum bisa mencapai tahap tawakkal. Siapa yang belum bisa tawakkal, tidak sah ber-taslim. Siapa yang tidak bertobat, tidak sah ber-inabah. Dan siapa yang tidak wara‟, tidak sah untuk ber-zuhud.[61] Bahkan ia mampu menguraikan konsep fana‟ yang sering disalah pahami oleh sebagian sufi lainnya, secara moderat. Fana‟ baginya bukanlah leburnya atau penyatuan seorang hamba dengan Tuhan, melainkan lenyapnya sifat-sifat tercela pada diri seorang hamba dan melahirkan ke-baqa‟-an, yakni kekalnya sifat-sifat terpuji.[62] Dengan uraian semua ini, terlihat sekali bahwa Qusyairi mempunyai pandangan yang moderat dan sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah. Tokoh sufi lain yang tasawufnya berasaskan doktrin Ahlus Sunnah ialah Abu Ismail Abdullah ibn Muhammad Al-Anshari atau yang lebih dikenal dengan Al-Hawari. Ia dipandang sebagai penggagas aliran pembaruan dalam tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal dengan keganjilan ungkapan-ungkapannya, seperti Al-Busthami dan Al-Hallaj.[63] Karya Al-Harawi yang paling terkenal adalah Manazil al-Sairin ila Rabb alAlamin. Dalam karya ringkas tersebut, ia memaparkan tingkat-tingkat ruhaniah yang mempunyai awal dan akhir. Mendekati Qusyairi, ia juga mengungkapkan bahwa tingkatan akhir tidak bisa diraih tanpa melalui tingkatan awal, seperti halnya bangunan tidak bisa tegak tanpa berdasarkan fondasi. Benarnya tingkatan awal adalah dengan menegakkannya di atas keikhlasan serta mengikuti Sunnah.[64] Al-Harawi juga dikenal dengan teori fana‟ dalam kesatuan, namun fana‟nya berbeda dengan fana‟ para sufi semi falsafi sebelumnya. Baginya fana‟ bukanlah fana wujud sesuatu yang selain Allah, tetapi dari penyaksian dan perasaan mereka sendiri. Atau dengan kata lain, ketidaksadaran atas segala sesuatu selain yang disaksikan, bahkan juga ketidaksadaran terhadap penyaksiannya serta dirinya sendiri. Hal ini terjadi karena dia sirna dengan Yang Disembahnya lewat penyembahan kepada-Nya, dengan Yang Diingatnya lewat pengingatan terhadap-Nya, dengan Yang Mengadakanya lewat wujudnya, dengan Yang Dicintainya lewat cinta kepada-Nya, dan dengan Yang Disaksikannya lewat persaksian terhadap-Nya. Kondisi demikian, biasanya disebut dengan sakr, ishthilam, atau mihwar.[65] Al-Harawi menganggap bahwa orang yang suka mengeluarkan ungkapanungkapan ganjil, maka hatinya tidak bisa tenteram, atau dengan kata lain ungkapan tersebut muncul dari ketidaktenangan. Sebab apabila ketenangan itu terpaku dalam kalbu mereka, maka akan membuat mereka terhindar dari keganjilan ucapan atau pun segala penyebabnya.[66] Tokoh selanjutnya adalah Al-Ghazali, pembela tasawuf sunni yang menduduki peringkat lebih besar daripada kedua sufi yang telah disebutkan sebelumnya. [67] AlGhazali menjauhkan tasawufnya dari semua kecenderungan gnostis yang mempengaruhi para filosof Islam, sekte Isma‟iliyyah dan aliran Syiah, Ikhwanus Shafa, dan lainlainnya. Ia juga menjauhkan tasawufnya dari teori-teori ketuhanan Aristoteles, antara lain teori emanasi dan penyatuan. Sehingga dapat dikatakan bahwa tasaawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam. Setelah mendalami berbagai ilmu, seperti ilmu fikih, kalam, filsafat dan tasawuf, maka ia berkeyakinan bahwa jalan sufi adalah jalan terbaik bahkan pada titik ekstremnya, dalam perspektif Imam Ghazali jalan yang paling ideal menuju Tuhan adalah melalui pencerahan sufistik atau tasawuf. Setelah mencapai mukasyafah, terbukanya tirai-tirai kegaiban alam malakut, Ghazali mempertajam wacana tersebut dengan berkomentar bahwa “Kaum sufi adalah orang-orang yang berada di jalan Allah secara khusus. Jalan mereka adalah jalan yang terbaik. Cara mereka adalah cara yang terbenar. Akhlak mereka adalah akhlak yang tersuci. Bahkan jika pikiran para cendikiawan, hikmah para ahli hikmah dan pengetahuan para ulama yang mengetahui rahasia-rahasia syariat dikumpulkan untuk mengubah jalan dan akhlak kaum sufi serta menggantinya dengan yang lebih baik, mereka tidak akan menemukan jalan untuk itu. Karena semua gerak dan diam mereka, pada lahir dan batinnya, teradopsi dari lentera kenabian, padahal tidak ada cahaya di muka bumi yang melebihi terang cahaya kenabian” .[68] Al-Ghazali pun melakukan koreksi terhadap ungkapan-ungkapan ganjil AlBusthami dan Al-Hallaj. Menurut Al-Ghazali, ucapan-ucapan mereka di saat mabuk atau tidak sadar bersama Tuhan, seharusnya disembunyikan dan jangan diceritakan. Sebab, ketika mereka sadar kembali, sebenarnya mereka tahu bahwa mereka tidaklah ittihad, menyatu sebenarnya dengan Tuhan, melainkan hanya menyerupai penyatuan. Al-Ghazali membuat ilustrasi laksana orang yang belum pernah melihat cermin, lalu tiba-tiba dikejutkan oleh sebuah cermin dan melihat gambar dirinya di sana. Dikiranya bahwa gambar yang dilihatnya pada cermin adalah gambar cermin yang telah menyatu dengan gambar dirinya sendiri. Atau bagaikan seorang yang melihat anggur dalam sebuah gelas yang jernih, lalu ia mengira bahwa anggur itu bukanlah anggur, tapi hanya warna gelasnya. Jika kelak keadaan itu sudah menjadi terbiasa bagi orang yang mengalaminya dan kuat pula pengetahuannya, barulah ia akan menyadari keadaan yang sebenarnya. Dengan paparan dan ilustrasi tersebut, Al-Ghazali ingin menunjukkan bahwa tidak mungkin terjadi penyatuan antara manusia dengan Tuhan. Yang ada hanya lenyapnya kesadaran si hamba ketika menyaksikan keagungan Wajah Tuhan Yang Maha Indah, Maha Mulia, dan Maha sempurna.